Anak Stunting Butuh Protein Hewani

91
dr. Eva Jeumpa Soelaeman, Sp.A(K)

 

Seribu hari pertama kehidupan, yang merupakan periode emas, adalah masa krusial karena menentukan kesehatan dan potensi anak di masa yang akan datang. Asupan gizi anak pada periode ini sangat penting untuk diperhatikan. Apa yang ada di piring makannya akan berdampak pula pada kehidupan mereka. Ketika gizinya buruk, akan berimplikasi buruk pula.

“Dalam General Nutrition Report, Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami triple ganda permasalahan gizi, tidak hanya stunting, tetapi juga wasting dan overweight atau obesitas. Semua masalah ini akibat kurangnya keanekaragaman pangan mikro dalam piramida makanan sehari-hari,” ujar Dr. Rina Agustina, MSc, PhD, dalam webinar bertajuk “Piringku Masa Depanku” yang digelar akhir Desember lalu.

Dikatakan staf Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu, ada empat aspek penting dalam tumbuh kembang anak, yakni keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih sehat, dan mempertahankan berat badan normal. Untuk aspek pertama, kualitas dan keragaman pangan sangat berpengaruh pada kesehatan, kecerdasan, dan daya tahan terhadap berbagai penyakit. Keanekaraganan sumber pangan sangat dibutuhkan selama pandemi.

Keragaman jenis makanan disesuaikan dengan usia anak, tetapi harus mengandung karbohidrat, lemak, protein, serta buah dan sayur yang kaya vitamin. Anak juga sebaiknya mengonsumsi gula tidak lebih dari 4 sendok makan, 1 sendok teh garam, dan 5 sendok makan minyak setiap hari.

Atrofi Mukosa Usus

Sementara itu, staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSAB Harapan Kita, Jakarta, sekaligus peneliti dari Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran FKUI, dr. Eva Jeumpa Soelaeman, Sp.A(K), menyebutkan kejadian gizi kurang bisa memicu atrofi mukosa usus yang mengakibatkan gangguan permeabilitas usus dan menimbulkan malabsorbsi nutrien. Diperlukan upaya khusus untuk meregenerasi mukosa usus.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Eva melakukan riset efikasi suplemen biskuit Moringa oleifera terhadap perbaikan integritas mukosa usus pada anak usia 12–18 bulan dengan gizi kurang di Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Tujuan penelitian adalah sebagai salah satu modalitas mengatasi masalah gizi anak di Indonesia.

“Tahap pertama penelitian dimulai dengan pemberian formulasi biskuit berbasis daun kelor alias Moringa oleifera dengan fortifikasi empat bahan aktif, yakni glutamin, zinc, prebiotic, dan serat pangan. Setelah biskuit terbentuk lalu dianalisis kandungannya, kemudian dilakukan uji cita rasa untuk menilai tingkat kesukaan anak-anak terhadap biskuit ini. Pemberian berupa empat keping atau 100 gram sehari,” kata Eva dalam acara Promosi Doktor yang digelar via Youtube, Selasa (5/1/2021).

Dipaparkan dokter spesialis anak konsultan ini, tahap kedua berupa uji klinik dua kelompok paralel tersamar ganda untuk menguji efikasi fortifikasi suplemen biskuit pada integritas mukosa usus dengan mengukur IFABP urin, AAT tinja dan kalprotektin tinja. Kadar IFABP urin dinilai untuk melihat kerusakan di daerah mukosa usus, AAT tinja untuk kerusakan submukosa usus dan kalprotektin tinja bila kerusakan terjadi lebih dalam. Kadar yang tinggi menandakan kerusakan yang lebih banyak.

Dari 57 subjek, didapatkan kadar IFABP urin, AAT tinja, dan kalprotektin tinja yang menurun secara signifikan pada kelompok yang diberi intervensi biskuit Moringa oleifera yang difortifikasi dengan glutamin, zinc, prebiotic, dan serat pangan selama enam bulan dibandingkan dengan tanpa fortifikasi. Berat badan mereka juga bertambah. Namun, diakui, penelitian pemberian biskuit berbasis daun kelor ini masih terbatas pada anak gizi kurang, bukan anak stunting. Anak stunting tetap butuh tambahan protein hewani. (est)