RUU Siber Harus Lindungi Masyarakat

129

Sironline.id, Jakarta – Rencana pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) tanpa adanya regulasi Perlindungan Data Pribadi (PDP) berpotensi mengganggu demokratisasi di Indonesia.

Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan tujuan utama dari pengesahan undang-undang keamanan siber ialah untuk perlindungan individu yang dalam penerapannya harus memperhatikan ranah privat dan Hak Asasi Manusia.

“Tujuan keamanan siber yang baik itu memperhatikan beberapa konsep, yakni sebuah keamanan yang dapat melindungi keamanan individu, perlindungan terhadap perangkat, jadi maksudnya harus bisa melindungi perangkatnya, serta perlindungan terhadap jaringan, tidak memberikan dampak yang merugikan bagi pengguna internet,” ujarnya dalam diskusi publik Menyoal RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, Potensi Ancamannya Bagi Kebebasan Sipil di Universitas Atma Jaya Jakarta Kamis (05/09/2019).

Menurutnya RUU KKS ini dikhawatirkan bisa menghambat kreativitas, inovasi dan invensi teknologi siber, begitu pula komunitas ekonomi kreatif yang tumbuh begitu pesat di Indonesia dengan mengandalkan internet. Dengan demikian, pemerintah sepatutunya mengajak para pemangku kepentingan seperti halnya lembaga, akademisi, masyarakat sipil yang merupakan elemen dari ekosistem internet di Indonesia untuk duduk berdisuksi.

Dengan demikian kebijakan yang memiliki manfaat secara luas dapat berjalan dan diterima baik masyarakat. “Namun jika sebuah produk undang-undang yang masih sangat prematur kemudian dipaksakan untuk disahkan dan diterapkan, maka yang terjadi kemudian adalah abuse of power,” paparnya

Senada dengan Wahyudi, pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengatakan bahwa 143 juta pengguna internet Indonesia berpotensi menjadi korban dari penerapan sebuah produk RUU KKS. Ardi mengatakan pemaksaan kehendak terhadap sebuah produk undang-undang jelas sebuah gambaran dari upaya membatasi sebuah proses berdemokrasi.

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jur. Sih Yuliana Wahyuningtyas RUU KKSmemiliki dua pendekatan yakni kepentingan manusia serta keamanan. Ia pun sepakat jika tanpa adanya  PDP keamanan siber (cybersecurity) berpotensi besar dapat melanggar hak asasi manusia. “Yang paling penting adalah manusianya, regulasi cybersecurity memiliki dampak langsung pada hak asasi manusia terutama privasi yakni PDP,” ujar Yuliana.

Menurutnya pengesahan RUU KKS tanpa adanya regulasi PDP memungkinkan setiap individu dapat dibungkam jika pendapatnya bertolak belakang dengan pemilik kekuasaan. Ia menegaskan bahwa RUU KKS dinilai efektif jika negara memiliki peraturan atau regulasi yang solid dalam melindungi data pribadi, guna mencegah adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia.

“Nantinya potensi cybersecurity dapat mengorbankan hak asasi manusia karena apapun yang kita lakukan bisa direkam, seperti pembicaraan dan kegiatan kita, serta political polling atau perbedaan pandangan politik dengan para penguasa, kita jadi takut,” lanjut Yuliana.

Di tempat terpisah, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanty juga sepakat jika RUU KKS harus lebih didalami agar menjadi payung hukum komprehensif dari semua aspek yang berhubungan dengan siber di Indonesia.

“Setelah saya baca, saya lihat konteks dan substansinya sepertinya kita harus lebih mendalami RUU tersebut,” kata Evita dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Menurutnya, Indonesia memang benar-benar membutuhkan UU Siber terlebih terkait dinamika ancaman siber bukan lagi masalah kecil sehingga harus difokuskan dalam mengatasi masalah tersebut. Pasalnya ke depan perang yang terjadi adalah siber, bukan lagi perang tradisional, dan sudah ada contohnya di beberapa negara terkait terjadinya perang siber tersebut.

“Ini hal yang harus diperhatikan pemerintah karena melihat sejarah di tahun 2007-2008 ketika Estonia dan Georgia diserang perang siber oleh Rusia, mereka lumpuh. Ancaman siber itu bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia sehingga harus menjadi perhatian,” ujarnya.

Namun Evita menilai dalam pasal-pasal yang ada dalam RUU KKS, lebih fokus pada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Ia mencontohkan dalam UU Terorisme, hanya ada satu pasal terkait Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan dalam UU Narkotika hanya ada delapan pasal mengenai Badan Narkotika Nasional (BNN).

“Di RUU KKS tersebut ada 20 pasal mengenai BSSN dan terlalu teknis membicarakan sampai sertifikasi. Saya justru berharap RUU ini menjadi payung hukum dari semua kegiatan siber Indonesia seperti di BIN, TNI, Kejaksaan, Imigrasi, BSSN, dan BNPT karena bicara serangan siber, tidak bisa lepas dari terorisme,” katanya. (D. Ramdani)