Bayu Gawtama : Kebaikan Ada Jalannya, Kebaikan Ada Pengikutnya

426

sironline.id, Jakarta – Perpisahan orangtua di saat balita mengajarkan arti hidup bagi Bayu Gawtama. Hidup yang sulit menjadikannya menjadi pribadi gigih. Tahun 2013, ia membangun Sekolah Relawan. Sekolah Relawan adalah lembaga yang fokus pada edukasi, pendidikan, keterampilan relawan juga pemberdayaan masyarakat.

17 TAHUN

“Kenapa namanya Sekolah Relawan karena berdasarkan pengalaman 17 tahun bergerak di bidang sosial kemanusiaan. Saya melihat banyak relawan ini tinggi antusias untuk membantu orang lain tapi sering kali, aktivitas kawan-kawan ini tidak dibarengi dengan skill dan wawasan yang cukup sehingga saya terpikir harus ada lembaga yang mengedukasi, dan memberi keterampilan untuk meningkatkan skill para relawan,” ujarnya.

Lanjut Gaw, Sekolah Relawan ini didirikan sebagai sarana untuk belajar bersama-sama. “Jadi mendirikan bukan karena saya lebih jago, lebih hebat tapi ayo kita belajar bersama-sama, terampil sama-sama, profesional sama-sama. Biar bekerja di lapangan lebih bagus lagi,” terang Ayah dari 4 orang anak ini.

RAGAM PROGRAM

Sekolah Relawan memiliki empat program utama. Pertama, edukasi kerelawanan. “Isinya forum sharing, keterampilan, dan pelatihan,” kata Gaw. Kedua, kegiatan sosial kemanusiaan. Membantu penanganan bencana, orang sakit, hingga masalah-masalah sosial. Ketiga, pemberdayaan masyarakat. “Jadi kita punya program Tatar Nusantara. Pengiriman relawan yang menjadi fasilitator, pendamping masyarakat. Mereka stay selama 1 tahun di daerah-daerah tertentu. Daerah terpinggirkan, tertinggal,marginal. Kita naruh relawan-relawan pendamping. Keempat, advokasi.

Tak hanya empat program di atas, program lain dari Sekolah Relawan adalah memberikan makan gratis kaum miskin melalui Free Food Car. “Jadi Free Food Car itu layanan makan gratis. Kita membawa kendaraan, datang ke satu tempat di Jabodetabek. Bisa ke kampung, pinggir jalan, atau lampu merah. Yang kita tau di situ banyak target duafa, fakir miskin, musafir yang bisa makan di situ. Konsepnya adalah kita melayani. Kita bawa meja, kursi, bawa makan prasmanan. Jadi siapa pun yang mau makan kita layani, sepanjang mereka, musafir, fakir miskin dan duafa. Di sini relawan kita latih untuk bisa melayani. Karena pemahaman relawan di sini bukan hanya memberi atau berbagi tapi melayani. Melayani itu jauh di atas memberi,” tukas pria yang telah menulis 8 buku ini.

Program Free Food Car ini telah berjalan lebih dari satu tahun. Saat awal, hanya menyediakan makanan satu minggu sekali. Kini setiap hari tersedia makanan gratis di lokasilokasi tertentu di Jabodetabek. “Sekarang setiap hari jalan dan pindah-pindah tempat di Jabodetabek. Yang menarik sekarang, Free Food Car ini begitu  menginspirasi kawan-kawan di berbagai daerah. Misalnya Bandung, Lampung, Surabaya, Blora dan berbagai daerah lain. Jadi mereka bikin sendiri, program sama dengan nama yang beda. Mereka minta izin. Saya selalu bilang, silakan. Karena masalah sosial ini tidak bisa kita selesaikan sendiri. Semakin banyak orang terlibat, terinspirasi hal yang sama, berarti pekerjaan kita makin mudah,” terang Gaw.

Setiap hari makanan yang disiapkan minimal 100 porsi. “Tergantung lokasi, ada lokasi kita bawa 200, abis cepat. Kita bawa yang 100, baru 2-3 jam abis. Misalnya Pasar Rebo, kita bawa 1 jam abis,” katanya.

Program pemberian makanan gratis ini ditujukan kepada kaum duafa, fakir miskin dan musafir. Karena itu, tim Sekolah Relawan selalu menyambut dengan tangan terbuka siapa saja yang mau datang untuk makan.

Tak hanya Free Food Car, program teranyar dari Sekolah Relawan adalah Food Box. Yakni  memberi makan gratis yang disediakan di dalam box. Saat awal, konsep Food Box ini ditaruh di pinggir jalan. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal, diputuskan Food Box ini diletakkan di lokasi tertentu. Hingga saat ini, Food Box ini ada di 14 titik. Mulai dari Kemang, Bogor, Depok, hingga Blora, Jawa Tengah.

Program lain yang tak kalah menginspirasi adalah Ketuk Berkah. “Ketuk Berkah ini kita ingin menghadirkan satu konsep baru, kita ga pengen yang namanya orang bagi-bagi sembako tapi kemudian orang duafa dikumpulin. Nah, kita ga pengen kayak gitu. Kita lebih pengen ada cara baru yaitu datangin aja satu per satu. Jadi sudah ketahuan itu tempat lansia, orang duafa, karena hasil survei kawan-kawan. Jam 8 atau 9 malam kita datangi rumahnya, ketuk pintu, bawa sembako. Jadi relawan itu bergerak, relawan itu mendatangi. Jadi konsepnya seperti itu,” kata Gaw. Yang diberikan adalah sembako dan makanan.

SUKA DUKA

Membangun organisasi dari awal memang tidak mudah. Namun, Gaw memiliki tekad yang kuat. “Selama 6 bulan pertama Sekolah Relawan ini belum banyak orang yang mau bantu. Saya punya keyakinan bahwa kebaikan itu ada jalannya, kebaikan itu ada pengikutnya. Saya yakin dengan itu. Kita hanya perlu konsisten, sejauh mana saya mampu konsisten dengan jalan itu, maka orang lain mulai lihat dan percaya, dia konsisten. Orang lain butuh fakta. Gue ga boleh nyerah, gue harus jalan terus. Sehingga orang lain mengikuti,” katanya tegas.

Dijelaskan Gaw bahwa berbagi itu tidak hanya dengan materi. “Yang kita bagi tidak hanya materi, saya punya lebih dari materi, jaringan, akses, sahabat. Konsep berbagi itu kita ga bisa sendiri. Konsep berbagi itu berjamaah, bersama-sama. Ketika saya ga punya uang untuk berbagi, tapi saya punya teman-teman yang bisa bantu. Di saat saya ga punya apa-apa. Apa-apa itu saya ga punya materi, ya. Tapi saya punya apa-apa yang lain. Membantu ga selalu materi, dengan akses, jaringan yang kita punya. Saya punya sahabat yang bingung abisin duit, sini duit loe gue abisin dengan cara yang benar,” katanya. (des)