Negara Ini Belum Merdeka

262
Diskusi Arsitektur negara postkolonial di Kampus Yarsi (Foto d. Ramdani)

Sironline.id, Jakarta – Menyambut hari kemerdekaan Indonesia yang ke-74, Direktur Institut Soekarno-Hatta, Hatta Taliwang mengaskan jika Indonesia masih belum merdeka. “Saya sampaikan hingga saat ini kita masih terjajah. Coba siapa yang memiliki gadung-gedung pencakar langit di Jakarta. Siapa penguasa lahan di pesisir pantai Jawa, siapa yang menguasai lahan tambang, minyak dan sumberdaya lainnya?. Lantas dimana pribumi, masyarakat asli Jakarta berada?, semakin terpinggirkan,” jelasnya dalam diskusi Arsitektur Negara Postkolonial di Universitas Yarsi, belum lama ini.

Lebih lanjut ia mengatakan jika siapa yang menguasai lahan dan sumberdaya alam dialah yang akan menguasai pada konstelasi politik tahun 2024. “Saya tidak terbayang akan seperti apa Indonesia ke depannya. Siapa yang akan jadi majikan, siapa yang akan menjadi marsose (tukang gebuk rakyat) dan siapa yang menjadi hamba sahaya. Indonesia benar-benar mengenyam kemerdekaan hanya sekitar 20 tahun saja yakni di era Presiden Soekarno (1945-1965),” tambahnya.

Menurutnya kemerdekaan negara ini mulai dirampas secara perlahan namun pasti saat paham kapitalisme sudah masuk ke “ruang tamu” rumah di era Presiden Soeharto dengan diresmikannya undang-undang penanaman modal. Bahkan kapitalisme terus menguasai hajat hidup orang bnyak sejak era reformasi. “Pasca reformasi kapitalisasi sudah mengatur dapur kita. Jelas sudah kita masuk dalam cengkraman kapilalisasi global,” imbuhnya.

Senada dengan Hatta, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menyebut jika bentuk kapitalisme berkembang pasca-postkolonial semakin merajalela. Bahkan untuk produk yang menjadi hajat hidup orang banyak juga diserahkan ke comersial goods, salah satunya air minum.  Padahal jelas Mahkamah Konstitusi menyebut jika air bukanlah produk comersial goods.

Menurutnya sebagai negara yang merdeka seharusnya rakyat bebas dari ketertindasan, bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan, bebas dari ketimpangan, bebas dari kehinaan. “Itulah amanah konstitusi. Sebenarnya bangsa ini bisa merdeka dalam arti yang sesungguhnya dengan memanfaatkan teknologi, selama tidak diberikan pada pihak-pihak asing,” tegasnya.

Hendrajit, pengkaji geopolitik dari Global Future Institute mengartikan arsitektur negara postkolonial yang diartikan penggantian pemerintahan asing ke pribumi. Namun sayang meski sudah merdeka 74 tahun, hingga saat ini masih belum merdeka jika secara ekonomi masih tergantung pada impor. “Meski sumberdaya melimpah, namun jika kita suka impor maka kualitas sumberdaya yang akan berkurang kualitasnya,” katanya.

Sementara itu, Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara Priyono Tjiptoherijanto mengatakan bahwa pasca reformasi, demokrasi Indonesia sudah kebablasan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya tata kelola pemerintahan yang baik belum berjalan. Indonesia semakin jauh dari yang namanya good government. Buktinya pidato Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarno Putri yang tanpa malu meminta jatah kursi menteri paling banyak di hadapan Presiden Joko Widodo dan jutaan rakyat Indonesia di kongres PDIP ke-V di Bali.

Guru besar tetap FEB UI ini mengatakan jika sejarah Indonesia memiliki siklus. “Era Soekarno berjalan 20 tahun, Seoharto 32 tahun dan Revormasi telah berjalan 21 tahun. Sepertinya sekarang harusnya ada gerakan baru,” jelasnya. “Mudah-mudahan Presiden Jokowi bisa meninggalkan sesuatu untuk negeri di tengah demokrasi yang kebablasan. Bukan sebaliknya, dengan mengesahkan peraturan yang melanggengkan Jokowi 3 periode,” katanya.

Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Yudhie Haryono, menawarkan solusi agar Indoensia bisa benar-benar merasakan kemerdekan dengan jalan melakukan revolusi Pancasila. Menurutnya, menjadi seorang Pancasilais tidak cukup mengumbar kata belaka. Tapi harus disertai dengan mengubah mentalitas dan cara hidup melalui antusiasme, kebijakan, konsistensi serta keinginan untuk menghapus kompleks inferioritas yang disebabkan olej kolonialisme yang panjang. “Rakyat harus dibekali dengan wawasan ketuhanan, keberadaban, kebersatuan, kerakyatan dan keadilan,” tutupnya.