INDEF: Era Orde Baru Ekspor Bisa Tumbuh Lebih Dari 20%

62

sironline.id, Jakarta – Agresifnya suntikan modal asing ke startup di Indonesia menjadi diskursus publik yang menghangat. Terlebih Kepala BKPM Thomas Lembong sempat mengungkapkan kegelisahannya saat investasi di 4 Unicorn (Gojek, Traveloka, Grab, Bukalapak) tidak semua tercatat.  Meski sempat direvisi, permasalahan terkait kepemilikan startup asing belum selesai.  Ekonom Senior INDEF, Didik J. Rachbini,  mengatakan bahwa Indonesia harus menempatkan posisinya yang jelas karena ada peluang pasar yang besar dari 100 juta kelas menengah Indonesia yang potensial sebagai sasaran investasi.

“Potensi pasar ini yang tidak boleh diobral murah kepada investor yang hanya mengincar pasar Indonesia dan hanya menarik untung yang besar dari pasar di dalam negeri.  Pemerintah tidak bisa naif menjual murah pasar dalam negeri untuk dieksploitasi tanpa melihat seberapa besar manfaatnya bagi ekonomi dalam negeri,” jelasnya dalam diskusi online bertema Polemik Investasi Asing di Startup Unicorn, Minggu (4/8).

Ia menilai investasi yang orientasinya ke pasar dalam negeri berbeda dengan investasi untuk ekspor dan bagian dari global chain.  Investasi yang yang orientasinya ke pasar dalam negeri membawa beban terhadap neraca berjalan yang sudah sangat parah,  terutama pendapatan primer yang terus mengalami defisit paling besar pada dekade ini.

“Investasi yang hanya mengeksploitasi pasar dalam negeri membahayakan neraca berjalan nasional dalam jangka pendek maupun panjang.  Seharusnya kebijakan investasi membedakan jenis investasi yang produktif untuk ekspor dan daya saing pasar global dan investasi yang hanya mengeksploitasi pasar dalam negeri.”

Apalagi, neraca berjalan kita sudah sangat berat. Sumber defisit neraca tersebut tidak lain adalah neraca jasa dan sekarang lebih berat dengan neraca pendapatan primer.  Jika arus model asing dipenuhi oleh investasi yang mengeksploitasi hanya pasar dalam negeri, maka dampaknya berat terhadap neraca berjalan, terhadap nilai tukar rupiah, terhadap ekonomi sektor luar negeri dan perekonomian secara keseluruhan rapuh.

Bahkan, kata Didik, defisit pendapatan primer sudah mencapai USD 30,4 miliar, yang didominasi oleh defisit pendapatan investasi dimana modal keluar yurisdiksi ekonomi Indonesia paling tidak sampai USD 29 miliar.

Investasi berkualitas rendah apabila hanya untuk eksploitasi pasar dalam negeri. Hal ini juga bisa berdampak negatif menyedot modal keluar. Untuk itu, menurut Didik, pemerintah harus mendorong dan memberikan insentif terhadap investasi yang produktif berorientasi ekspor dan berdaya saing sehingga berdampak positif terhadap devisa dan memperkuat ekonomi sektor luar negeri.

Selain menekan defisit jasa dan pendapatan primer, neraca berjalan hanya dapat diperbaiki jika neraca perdagangan mengalami surplus besar seperti pada periode 1980-an sampai 1990-an.  Didik menilai kebijakan pemerintah saat ini kalah jauh dengan kebijakan pada  masa Orde Baru. “Saat Orde Baru ekspor tumbuh bukan hanya dua digit tetapi di atas 20 persen. Neraca perdagangan harus diperbaiki dengan menekan strategi ekspor yang kuat seperti sebelumnya, juga menahan impor agar neraca perdagangan tidak sakit,” tambahnya. (eka)