Sektor Filantropi Perlu Optimalkan Kontribusi Atasi Dampak Perubahan Iklim

10
Philanthropic
Tangkapan layar webinar 'Climate Change, Green Recovery, and The Role of Philanthropy Post COP26' dalam Fifest 2022. (Sumber: Filantropi Indonesia)

Jakarta, SirOnline.id –   Beberapa tahun belakangan, perubahan iklim menjadi salah satu isu yang selalu dibahas dalam agenda global. Bukan hanya tentang dampak ditimbulkan, tapi juga tentang upaya-upaya yang digencarkan untuk mengurangi efeknya.

Sektor filantropi disebut menjadi bagian yang dianggap perlu mengoptimalkan peran, potensi, dan kontribusinya mengatasi dampak perubahhan iklim. Hal ini sejalan dengan sorotan Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP26 yang menekankan pentingnya gotongroyong antarsektor.

Hal ini juga ditegaskan oleh Rachmat Witoelar, Menteri Lingkungan RI periode 2004-2009 dan Representatif Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dalam salah satu webinar Filantropi Festival (Fifest) 2022, bertajuk “Climate Change, Green Recovery, and The Role of Philanthropy Post COP26”, Selasa (7/6).

Ia mengatakan, COP26 yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia tahun lalu menghasilkan Glasgow Climate Pact (GCP) yang mempertegas urgensi peningkatan aksi dan dukungan termasuk pendanaan, kapasitas bangunan, dan teknologi transfer untuk meningkatkan kapasitas beradaptasi, memperkuat pertahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.

“Dunia nampak semakin kecil ketika berbicara tentang perubahan iklim. Setidaknya ada tiga hal yang memengaruhi, pertama dampak yang terjadi di mana-mana melampaui batas negara bahkan dunia. Kedua, jangkauan waktu yang sangat panjang (bisa mencapai 50-100 tahun, bahkan lebih). Ketiga, masalah ilmiah,” ujar Rachmat.

Hal senada juga diungkapkan oleh Agus Sari, CEO Landscape Indonesia yang kembali mengingatkan ‘alarm’ yang telah diberikan banyak pihak tentang manusia yang harus beradapsati dengan perubahan iklim. Ia pun memaparkan berbagai langkah yang bisa ditempuh filantropi untuk membentengi manusia, yakni membantu mengurangi dampak perubahan iklim dan membantu masyarakat beradaptasi dengan dampak tersebut.

Selain itu, Agus juga memandang perlu adanya kontribusi bersama antara umum, swasta, pemerintah dan para pemangku kepentingan. Dengan kata lain, kekhawatiran mengenai perubahan iklim dapat memberikan harapan untuk solusi lebih lanjut bagi filantropi untuk melakukan pembiayaan gabungan sebagai upaya terbaik.

Sejalan dengan Agus, Presiden dan CEO ClimateWorks Foundation, Helen Mountford mengungkapkan urgensi bergabungnnya sektor publik dan swasta untuk bermitra guna membantu mobilisasi dan mengkoordinir sumber daya teknis maupun finansial dapat membangun dasar yang kuat untuk melakukan banyak efisiensi, termasuk tentang energi terbarukan. Sebab ia menyebut laju pemberian para filantropi untuk mengurangi dampak perubahan iklim masih jauh dari apa yang dibutuhkan.

Baca: Vaksin Rabies Gratis untuk Hewan Peliharaan di Jakarta

“Negara-negara di Asia Tenggara yang sedang berkembang, menurut Helen sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Ia berpendapat, negara di Asia harus membuat policy making tentang energi terbarukan. Artinya, pemerintah perlu bersinergi melakukan investasi yang lebih besar, dan memastikan masyarakatnya mendapat akses energi yang bersih,” katanya.

Chair of the Steering Group of Foundations Platform F20, Klaus Milke mengatakan, persoalan perubahan iklim memang tidak bisa dilepaskan dari masalah pembiayaan. “Kita perlu lebih banyak pendanaan untuk penyelesaian perubahan iklim. Namun kalau tidak punya dana, tapi punya pengetahuan, bisa ikut kontribusi dengan bertukar pikiran dengan cara melakukan banyak pertemuan, untuk menjawab tantangan ini,” ujarnya. (un)