
sironline.id, Jakarta – Sektor industri Tekstil dan Produk Tekstil(TPT) melanjutkan kinerja pertumbuhan ekspor negatif di tahun lalu. Kondisi industri tekstil dan produk tekstil memang tidak begitu menggembirakan setidaknya dalam 3 tahun terakhir.
Menurut Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penurunan kinerja industri TPT tidak terlepas dari melemahnya demand pasar dalam negeri, karena pangsa pasar yang direbut produk impor yang diakibatkan dari regulasi yang memudahkan impor. Akhirnya kondisi ini bermuara pada konsumsi masyarakat yang lebih rendah terhadap produk dalam negeri, karena didominasi oleh produk impor.
Sebagai informasi, pangsa pasar konsumsi untuk produksi dalam negeri pada tahun 2016 mencapai 65% namun pada tahun 2019 jumlahnya menurun menjadi 56%. Hal ini ditambah dengan level playing field yang tidak seimbang dengan negara pesaing seperti misalnya China, Bangladesh, Vietnam, dan India.
Sementara itu, menurut Rachmat Hidayat dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), industri makanan dan minuman juga ikut terdampak dengan adanya pandemi ini. Meskipun masih bisa mencatatkan pertumbuhan yang positif, namun industri ini harus melakukan adaptasi dari perubahan perilaku konsumen yang lebih mawas terhadap kesehatan ataupun kebersihan dalam produk makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Di samping itu, beberapa tantangan juga dihadapi oleh industri makanan dan minuman seperti misalnya belum adanya jaminan pengadaan energi yang lebih kompetitif, ketersediaan bahan baku, hingga jaminan pasokan bahan baku.
Tantangan industri TPT dan makanan dan minuman juga disampaikan oleh Prof. Ina Primiana, ekonom senior CORE Indonesia. Ia menilai kendala umum yang dihadapi oleh industri manufaktur adalah masalah rendahnya daya saing yang disebabkan oleh berbagai hal. Dalam kebijakan impor misalnya, produk industri dalam negeri tidak dapat bersaing dengan barang impor yang harganya jauh lebih murah, sehingga penggunaan bahan baku dan bahan penolong impor lebih menjadi prioritas. Di sisi lain, kebijakan perdagangan seperti Free Trade Area (FTA) dilakukan tanpa persiapan yang matang, sehingga ketika perjanjian FTA mulai berlangsung industri di dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Masalah produk impor juga disampaikan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Menurut Ketua API Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, kemudahan impor yang seharusnya membantu industri dalam negeri khususnya IKM malah menjadi bumerang dan mengancam industri dalam negeri.
Dari dalam negeri masalah mahalnya ongkos logistik menjadi masalah klasik yang masih menjadi pekerjaan rumah. Tingginya biaya logistik disebabkan karena penerapan infrastruktur logistik belum terintegrasi dan menciptakan biaya ekonomi tinggi. Dalam menjawab tantangan proses pemulihan ekonomi dan tren deindustrialisasi prematur yang tengah dialami oleh Indonesia, pemerintah sebenarnya tengah mengeluarkan produk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perdagangan dan Perindustrian, yang merupakan turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Namun demikian menurut Prof Ina, RPP Perdagangan dan Perindustrian akan mampu mendorong “Reindustrialisasi” bila pasal-pasal yang ada mengatur beberapa persoalan yang dihadapi industri manufaktur nasional, agar daya saing meningkat dan menjaga neraca perdagangan industri agar tetap surplus dan meningkat seperti di tahun 2020. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengurangi ketergantungan bahan impor, membantu industri dalam negeri dalam Kemudahan Lokal Tujuan Ekspor (KLTE), kemudahan dan insentif yang diberikan yang mendorong penggunaan bahan baku lokal, jaminan pasar bagi industri dalam negeri baik industri hulu dan industri hilir.
Selain itu dalam RPP perindustrian pemerintah perlu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Impor hanya dilakukan bila industri di dalam negeri tidak dapat memproduksi baik sebagai bahan baku atau bahan penolong. Ia menilai belum ada Bab yang membahas jaminan pasar domestik bagi produk dalam negeri sehingga RPP ini tidak bisa mendorong penggunaan bahan baku dalam negeri, hingga memperbaiki kebijakan impor.
Perbaikan kebijakan impor juga menjadi concern API. Menurut Jemmy perlu ada kebijakan ketat berupa kewajiban menyertakan perizinan impor bagi importir yang mengimpor melalui Pusat Logistik Berikat (PLB), Gudang Berikat (GB),dan Free Trade Zone (FTZ). Apalagi dari pengalaman sebelumnya kemudahan impor produk TPT melalui PLB, GB, dan FTZ seringkali disalahgunakan untuk membanjiri pasar domestik dengan produk impor.
