LP3ES Sebut Demokrasi Indonesia Alami Kemunduran

67

Menyambut tahun baru 2021, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis Outlook Demokrasi tahun 2021. Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini menilai adanya kemunduran demokrasi, perkembangan yang tidak diduga dimana pemerintah, alat negara, presiden menggunakan kekuasaan konstitusionalnya untuk mengendalikan keadaan secara otoriter. “Dari seminar-seminar tentang demokrasi dan HAM, yang diadakan oleh LP3ES, keadaan ini Menurut Jimly Ashsiddiqie mengarah pada bentuk diktator konstitusional,” terangnya saat menyampaikan Refleksi 2020 & Outlook 2021 di Jakarta, Senin, 11 Januari 2021

Lebih lanjut Didik mengatakan suara dari civil society dalam demokrasi saat ini dinilai sangat lemah dan suara parlemen untuk check and balance hampir mustahil. Dampaknya, demokrasi di Indonesia menjadi cacat lantaran tidak adanya check and balance kekuasaan. Dari sisi hukum, pemberantasan korupsi juga menjadi semakin kemah ketika KPK dilumpuhkan, melalui amandemen UU KPK,  langsung dari kendali dan perintah presiden.  Meskipun banyak demostrasi mahasiswa yang meluas di seluruh Indonesian dan banyak tokoh datang ke istana meminta presiden untuk membatalkan amandemen UU KPK melalui Perpu. “Saya yakin presiden tidak akan menerbitkannya. Mengapa ? Karena Presiden sendiri yang ikut mengendalikan amandemen tersebut. Tanpa presiden setuju, maka tidak mungkin amandemen itu terjadi,” terangnya.

Wijayanto, direktur cernter for media and democracy, LP3ES menyampaikan ada empat indikator kemunduran demokrasi yang terwujud dalam praktik otoritarianisme yang sesungguhnya telah terjadi dan terus berlangsung di Indonesia. Pertama, penolakan (atau komitmen lemah) terhadap aturan main yang demokratis. Kedua, konsolidasi oligarki dan melemahnya lawan politik. Ketiga, toleransi atau dorongan kekerasan. Keempat, kesediaan untuk membatasi kebebasan sipil terhadap lawan, termasuk media.

Lebih jauh, ia menjelaskan factor-faktor yang menyebabkan kemunduran yakni problem struktural, agensi dan kultural. Dari sudut pandang struktural dapat dilihat mengenai fenomena terkonsolidasinya oligarki yang masuk ke dalam berbagai lapisan institusi kekuasaan. Selanjutnya, ada pula problem agensi di mana para pemimpin terpilih secara demokratis yang justru memunggungi demokrasi. Sedangkan problem kultural direfleksikan dari publik yang masih setengah hatinya mendukung demokrasi, ditambah dengan makin melemahnya masyakat sipil di sisi lainnya. “Problem dari tiga aspek tersebut telah menjadi prakondisi yang menjelaskan blunder kebijakan publik selama pandemi yang semata melayani kepentingan segelintir elite oligarki dan tidak menjadikan nyawa dan keselamatan warga sebagai panglima,” jelasnya.

Namun di tengah mendung nestapa yang menggelayuti demokrasi Indonesia selama 2020, ada secercah harapan untuk merangkai asa menapaki 2021. Itu adalah kontra dari masyarakat sipil yang terus bermunculan pada setiap kebijakan yang bermasalah yang menciptakan semacam resistensi terhadap kemunduran demokrasi (resistance to democratic regression). “Untuk itu, yang diperlukan adalah memperkuat dan memperluas perlawanan, membangun sinergi dan kolaborasi, sehingga masyarakat sipil bisa menjadi penantang yang mampu mengimbangi kekuatan oligarki,” pungkasnya.

Fachru Nofrian, Associate Researcher, LP3ES dan Dosen UPN Veteran Jakarta menyampaikan bahwa dampak dari berbagai perilaku yang cenderung otoriter tersebut dalam ranah kesejahteraan publik. Sehingga, tidak hanya mempertegas, tetapi bagian ini juga menggaungkan kembali dampak dari tren kemunduran demokrasi dalam sudut pandang kesejahteraan yang notabene-nya menjadi salah satu tujuan besar negara. Runtutan pembahasan dalam sembilan bagian tersebut akhirnya menjadi refleksi atas dinamika politik tahun 2020 di bab 10. Tidak hanya menjadi refleksi, tetapi juga memprediksi apa yang akan terjadi pada tahun berikutnya.

Di tengah tren kemunduran demokrasi yang semakin memprihatinkan, sinergi antar kelompok masyarakat sipil menjadi sebuah solusi yang pantas diperjuangan. Mendengarkan suara rakyat harus menjadi semangat untuk menjalani tahun baru 2021 ini demi menahan laju kemunduran demokrasi di Indonesia menghindarkannya dari terperosok lebih jauh ke dalam jurang otoritarianisme.