Mahkamah Penerbangan Perlu Dibentuk Agar Kesalahan Sejenis Jatuhnya Pesawat Tak Terulang

162

Insiden jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta Pontinak di Kepulauan Seribu, pada Sabtu 9 Januari 2021 menambah panjang catatan kelam moda transportasi udara Indonesia. Ini adalah kecelakaan penerbangan terbesar ketiga di Indonesia dalam enam tahun terakhir. Dua kecelakaan penerbangan besar sebelumnya adalah kecelakaan Boeing 737 MAX milik Lion Air di bulan Oktober 2018, dan kecelakaan Airbus A320 yang dioperasikan AirAsia Indonesia pada Desember 2014.

Banyak dugaan muncul terkait sebab terjadinya kecelakaan, bahkan tidak sedikit yang menyamakan insiden SJ 182 dengan Air Asia QZ 8501 pada tahun 2014. Pengamat Penerbangan dari Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, yang menilai segala dugaan atau analisis sejauh ini hanya bersifat spekulatif. “Kalau saya lebih menunggu pernyataan dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), karena kecelakaan yang total loss atau tidak ada yang selamat itu sebenarnya kita tidak akan pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi sampai nanti KNKT mengeluarkan hasil akhir dari investigasinya,” ujar Chappy.

Chappy menilai sudah seharusnya pemerintah membentuk Mahkamah Penerbangan. “Dari hasil KNKT seharusnya ada tindak lanjut semacam Mahkamah Penerbangan untuk corrective action (pembenahan –red), sehingga mungkin ke depan kita bisa lebih baik. Tetapi badan ini juga belum dibentuk walaupun sejak 2009 sudah ada di undang-undang nomor 1 tentang penerbangan bahwa badan itu harus dibentuk. Karena kalau investigasi kecelakaan berhenti di KNKT, maka bisa berulang kesalahan sejenis yang mungkin saja terjadi, tidak dilihat ada sanksi dan sebagainya,” papar Chappy.

Lalai Soal Keamanan

Berdasarkan data Aviation Safety Network, sedikitnya 46 kecelakaan pesawat terjadi di Indonesia dalam kurun satu dekade terakhir. Angka ini membuat Indonesia menjadi negara dengan sistem keselamatan penerbangan terburuk di dunia. Bahkan, menurut data yang dimiliki Aviation Safety Network, lebih buruk dari Rusia, Iran, dan Pakistan. Bahkan, Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) sempat melarang maskapai Indonesia untuk beroperasi di negaranya dari tahun 2007-2016 karena dinilai memiliki masalah keselamatan. Uni Eropa juga pernah memberlakukan kebijakan serupa dari tahun 2007-2018.

Sebenarnya, penerbangan Indonesia sebenarnya telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan badan penerbangan PBB di tahun 2018 memberikan pujian. Namun, budaya keselamatan di Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kecil berupa mindset yang memandang kecelakaan sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, atau sudah ditakdirkan.  Chappy mengatakan bahwa Indonesia masih perlu meningkatkan pengelolaan penerbangan sipil yang merujuk kepada aturan-aturan standar internasional. “Kita juga kekurangan inspektor di Kementerian Perhubungan sebagai pemegang national aviation authority yang harus meregulasi dan mengawasi. Saya yakin kejadian ini pun akan banyak juga beberapa kelalaian kita yang berkontribusi terhadap kejadian Sriwijaya Air ini,” tegasnya.

Lebih lanjut, Chappy juga menyoroti kinerja manajemen maskapai penerbangan di Indonesia. Menurutnya, keselamatan penerbangan tercermin dari kinerja maskapai yang bersangkutan. “Kalau kita bicara tentang pengelolaan maskapai penerbangan, maka itu at the end of the word orang akan berbicara tentang keselamatan penerbangan,” jelasnya.  Ia pun berharap investigasi kecelakaan pesawat yang bertolak dari Jakarta menuju Pontianak ini dapat dilakukan secara maksimal. “Karena hasil investigasinya akan digunakan oleh negara-negara lain supaya tidak terjadi kecelakaan dengan penyebab yang sama,” pungkas Chappy.

Maintenance Sendiri

Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, mengatakan ada tiga faktor penyebab sebuah pesawat mengalami kecelakaan fatal yakni performa kru, cuaca, dan teknis. Menurutnya ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Beberapa ahli mengatakan, pesawat yang tak terbang selama berbulan-bulan karena pandemi virus corona berpotensi mengalami korosi mesin. Menurutnya korosi mesin jika pesawat tak dipakai lebih dari tujuh hari. Selama Pandemi, pesawat sriwijaya Air termasuk yang banyak parkir. Coroan pula membuat Sriwijaya tak lagi dilayani Garuda Maintenance Facility sejak 2019 lalu karena utang hingga Rp800 miliar.

Karena itu, armada milik Sriwijaya dirawat oleh para teknisi sendiri dengan ketersediaan suku cadang mesin yang terbatas. Akibat keterbatasan itu, kondisi perusahaan berada di level Hazard Identification and Risk Assessment (HIRA) 4A.”Jadi ini sudah jadi pertanyaan, apakah mereka cukup dana untuk melakukan maintenance? Apakah maintenance sejak lepas dari kerja sama itu masih oke atau tidak. Itu yang nanti akan dilihat oleh KNKT,” ujar Gerry Soejatman

FlightRadar24 mengatakan, pesawat SJ182 merupakan pesawat Boeing 737-500 klasik dengan nomor registrasi PK-CLC (MSN 27323). Pesawat tersebut pertama kali terbang pada Mei 1994 alias sudah berumur 26 tahun. “Kondisi pesawat informasi yang diperoleh dalam kondisi sehat sebelumnya terbang PP ke Pangkal Pinang ini rute kedua ke Pontianak. Dari laporan maintenance juga lancar,” kata Direktur Utama Sriwijaya Air Jeff Jauwena, dalam konferensi pers, Sabtu malam. Menurutnya keterlambatan keberangkatan yang dialami Sriwijaya Air SJ182 selama 30 menit bukan karena kendala mesin. “Delay (penundaan berangkat) akibat hujan deras,” kata Jefferson. Juru bicara Sriwijaya Air, Theodora Erika juga menyebut tidak ada perbedaan perawatan pesawat sebelum dan selama pandemi

Juru bicara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Indriantono, mengatakan pihaknya sedang mengumpulkan informasi mengenai pemeliharaan pesawat SJ182 untuk dicocokkan dengan Flight Data Recorder (FDR) dan Voice Data Recorder (VDR). Untuk itu, KNKT akan memeriksa sejumlah pihak dalam waktu dekat mulai dari teknisi hingga pilot yang sebelumnya menerbangkan pesawat SJ182. “Kita ingin melihat apakah ada pergantian spareparts, kalau ada spareparts yang mana. Kemudian apakah ada keluhan dari pilot yang sebelumnya? Dari situ kita cocokkan dengan FDR, benar apa enggak yang menandakan ada kerusakan, pergantian spareparts?” tutur Indriantono

Pesawat Sriwijaya Air diawaki oleh 6 kru aktif serta mengangkut 40 penumpang dewasa, 7 anak-anak dan 3 bayi. Kepala Basarnas Marsekal Madya Bagus Puruhito menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima 19 kantong berisi potongan tubuh dari tim SAR yang melakukan pencarian di perairan Kepulauan Seribu hingga Senin (11/01) siang. “Terkait bagian tubuh korban, DVI sedang melaksanakan proses selanjutnya,” ujar Bagus di Terminal JICT, Jakarta, Senin (11/01)

Dalam manives penerbangan pesawat Sriwjaya Air SJ 182 terdapat istri dan kedua anak dari Kadislog Lanud Supadio Pontianak Kol Tek Ahmad Khaidir ikut menjadi korban. Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau) Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah mentakan keluarga Kol Tek Ahmad Khaidir yang menjadi korban dalam peristiwa itu yakni, istri bernama Rahmania Ekananda yang duduk diseat 16 A, dan kedua anaknya, Fazila Ammara di seat 16 D dan Fatima Ashalina berusia 2,5 tahun di seat 16 C. Selain itu, kata Kadispenau, salah seorang pilot pesawat Sriwijaya Air juga merupakan penerbang TNI AU. ”Capt Afwan adalah Penerbang TNI AU periode 1987-1998, beliau terbang di Skadron Udara 4 dan Akadron Udara 31. alumni dr IDP IV th 1987,” katanya.

Yayasan Lembaha Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kecelakaan Sriijaya sebagai pelanggaran hak konsumen yang terberat. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi meminta dengan sangat kepada Kemenhub dan KNKT mengusut tuntas penyebab kecelakaan dari hilir hingga hulu. YLKI juga meminta Kemenhub untuk meningkatkan pengawasan yang lebih ketat kepada semua maskapai udara untuk menjamin aspek keselamatan penerbangan secara keseluruhan dan khususnya perlindungan konsumen jasa penerbangan.

Pada konteks UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, kecelakaan ini merupakan bentuk pelanggaran terberat pemenuhan hak-hak konsumen jasa penerbangan. Sebagai penumpang pesawat, konsumen mempunyai hak atas keselamatan, keamanan dan kenyamanan selama menggunakan jasa penerbangan. YLKI juga meminta managemen maskapai Sriwijaya dan juga Kemenhub untuk menjamin secara penuh hak-hak keperdataan konsumen yang menjadi korban kecelakaan tersebut, baik secara materiil maupun immateriil. “Sebagaimana dijamin dalam UU Perlindungan Konsumen, sebagai penumpang, konsumen mempunyai hak atas kompensasi dan ganti rugi saat menggunakan produk barang dan atau jasa, dalam hal ini jasa penerbangan,” tegasnya.

Manajemen PT Jasa Raharja (Persero) memastikan akan memberikan santunan kepada keluarga korban. Direktur Utama PT Jasa Raharja (Persero) Budi Rahardjo Slamet mengatakan besaran santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas darat, laut, dan udara mencapai Rp 50 juta untuk korban meninggal dunia, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 dan 16 Tahun 2017. Sementara itu, untuk penggantian biaya penguburan bagi yang tidak mempunyai ahli waris akan diberikan santunan Rp 4 juta dan manfaat tambahan penggantian biaya ambulans sebesar Rp 500 ribu. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, korban jiwa kecelakaan pesawat bisa mendapatkan santunan sebesar Rp 1,25 miliar.