Terapi Perilaku dan Alarm Atasi Gangguan BAK di Malam Hari

366
dr. Harrina Erlianti Rahardjo, Sp.U(K), PhD

 

Tidak bisa menahan keinginan buang air kecil saat tengah tidur pulas, tentu sangat menjengkelkan. Dalam istilah kedokteran, kondisi ini disebut sebagai nokturia. Nokturia didefinisikan sebagai berapa kali seseorang berkemih dalam periode tidur utama. Setiap berkemih selanjutnya diikuti tidur atau keinginan untuk tidur. Orang dengan kondisi nokturia akan lebih sering terbangun di malam hari untuk berkemih sehingga kualitas hidupnya terganggu. Nokturia dapat menjadi tanda adanya gangguan kesehatan.

“Studi prevalensi dan faktor risiko nokturia yang melibatkan 1.555 subjek dari tujuh kota di Indonesia menunjukkan prevalensi nokturia sebesar 61,4%. Dari prevalensi tersebut 61,4% dialami laki-laki dan 38,6% perempuan. Rata-rata usia responden 57 (18-92) tahun dan nokturia didapatkan terbanyak pada kelompok umur 55-65 tahun,” kata dr. Harrina Erlianti Rahardjo, Sp.U(K), PhD, Ketua Indonesian Society of Female and Functional Urology dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, dalam webinar bertema “Jangan Diamkan Nokturia dan Nokturnal Enuresis” yang digelar akhir bulan lalu.

Ada banyak penyebab terjadinya nokturia, di antaranya kelainan saluran kemih bagian bawah, gangguan ginjal, hormonal, atau problem psikologis. “Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Terapi perilaku, yakni intervensi gaya hidup, membatasi asupan garam dan minum kafein atau alkohol di sore dan malam hari, terutama antara makan malam dan waktu tidur. Latihan otot dasar panggul untuk nokturia yang disebabkan kandung kemih overaktif dan pembesaran prostat juga efektif meredakan keluhan. Meninggikan tungkai bawah setelah makan sampai waktu tidur dan menggunakan stoking kompresi untuk mengurangi bengkak di tungkai bawah dan mata kaki juga dapat mengurangi gejala,” ujarnya.

Periode Kering

Selain kelompok usia di atas, nokturia juga dialami anak-anak, dikenal sebagai nokturnal enuresis. Dikatakan Dr. dr. Irfan Wahyudi, Sp.U(K), Kepala Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-RSCM, ketidakmampuan mengontrol keluarnya urin selama tidur yang terjadi pada anak usia lebih dari 5 tahun atau perkembangan yang setara, setidaknya selama tiga bulan, dalam bahasa awam dikenal sebagai mengompol. Jika tidak diikuti dengan gejala berkemih lain, disebut sebagai monosimtomatik enuresis (MNE). Sebaliknya, buang air kecil terputus-putus atau nyeri saat berkemih dan gejala lainnya, disebut sebagai non-MNE.

Disebut MNE primer jika anak mengompol sejak lahir tanpa adanya periode kering atau bebas dari mengompol. Jika anak kembali mengompol setelah periode kering sekurang-kurangnya enam bulan, disebut sebagai MNE sekunder. “Angka kejadian dari masalah mengompol ini bervariasi, yakni 4-19% pada populasi anak di seluruh dunia, dan akan menurun sesuai dengan bertambahnya usia anak. Terapi disesuaikan dengan penyebab, bisa menggunakan obat desmopresi atau terapi alarm, dengan dukungan penuh orangtua,” katanya.

Terapi alarm memiliki tingkat keberhasilan yang hampir sama dengan pemberian obat. Saat celana anak basah akibat mengompol, alarm akan berbunyi yang menyebabkan anak akan terbangun dan harus pergi ke kamar mandi. Terapi dianggap berhasil jika anak tidak mengompol selama sebulan bulan tanpa pemakaian alarm, dan kebanyakan akan membuahkan hasil yang baik setelah 3-4 bulan terapi. (est)