Tantangan Fiskal 2020

55
Acara Press Conference INDEF bertema "Seratus Hari Tanpa Akselerasi: Respon atas Kinerja Ekonomi Triwulan IV 2019”di Jakarta, Kamis, 6 Februari 2020.

sironline.id, Jakarta – Di tahun 2019 pendapatan negara turun drastis hanya 90,4% atau sebesar Rp 1.957,2 triliun dari target Rp 2.165,1 triliun. Penerimaan perpajakan justru paling rendah hanya 86,5% atau sebesar Rp 1.545,3 triliun dari target Rp 1.786,4 triliun. Oleh karena itu pemerintah berupaya menambah defisit anggaran dari -1,84% Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 296 triliun menjadi – 2,2% PDB sebesar Rp 353 triliun. Realisasi belanja non Kementerian/Lembaga tidak terlalu tinggi hanya 79,9% atau sebesar Rp 622,6 triliun dari target Rp 778,9 triliun.

Tauhid  Ahmad, Direktur Eksekutif  Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)  mengatakan pada 2019 ekspansi fiskal didorong melalui  belanja sosial dengan kenaikan sebesar 34,1% dan belanja pegawai sebesar 7,74% dibandingkan tahun 2018. Namun strategi ini ternyata tidak berhasil mendorong konsumsi pemerintah  dan masyarakat jauh lebih baik. Di samping itu adanya penurunan belanja modal sebesar – 1,73% dan belanja barang – 3,94% juga turut menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi domestic turun dibandingkan tahun 2018.

Ia menilai ada beberapa tantangan fiskal di tahun 2020. Pencapaian penerimaan pajak pada 2019 sebesar 86,5% akan berpotensi memperburuk penerimaan pajak tahun 2020. “Perkiraan kami shortfall perpajakan di tahun 2020 sebesar Rp 196,8 triliun. Ini karena baseline 2019 jauh lebih rendah, pertumbuhan ekonomi lambat, drastisnya penurunan penerimaan dari sector industry maupun dampak relaksasi sector perpajakan,” jelasnya di acara Press Conference INDEF bertema “Seratus Hari Tanpa Akselerasi: Respon atas Kinerja Ekonomi Triwulan IV 2019”di Jakarta, Kamis, 6 Februari 2020.

Sebagai konsekuensi dari penerimaan negara termasuk pajak yang turun drastis, ia memperkirakan akan terjadi shortfall penerimaan negara di 2020 sebesar Rp 179,5 triliun. Ini karena baseline di 2019 jauh lebih rendah yang mempengaruhi  baseline di 2020. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diperkirakan ada penambahan sebesar Rp 17,8 triliun karena asumsi harga minyak lebih tinggi. Belanja negara juga memiliki potensi meningkat di tahun 2020 sepanjang subsidi gas 3 kg tidak dicabut dan kenaikan tarif listrik 900 VA ditunda. Ini akan membuat  defisit anggaran akan semakin membengkak.

Jika tidak ada upaya- upaya di sektor perpajakan atau belanja negara akan membuat negara sangat tergantung pada utang. ”APBN 2020 akan menghadapi ancaman shortfall penerimaan sehingga diperlukan upaya ekstra di perpajakan atau mau tidak mau harus menambah utang lebih besar,” tambahnya.

Abdul Manap Pulungan,  Center of Macroeconomics and Finance INDEF menambahkan di tahun 2019 industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan pajak sebesar Rp 365,39 triliun atau 29,4%. Ia juga menilai kelas menengah di Indonesia juga harus didorong sehingga menjadi pusat produksi, artinya akan banyak entrepreneur yang tumbuh dan akan banyak peningkatan sector- sector informal yang bisa berkontribusi terhadap PDB.

Seseorang masuk dalam kelompok kelas menengah jika memiliki penghasilan antara USD 2 – USD 20 atau setara Rp 27 ribu hingga Rp 270 ribu per kapita per hari. Lalu di antara kelompok tersebut, terdapat sejumlah pembagian kelas menengah.  Pertama, poor middle class dengan pengeluaran bulanan di bawah Rp 1 juta. Kedua, aspirant middle class dengan pengeluaran antara Rp 1 juta – Rp 1,5 juta. Ketiga, emerging middle class dengan pengeluaran antara Rp 1,5 juta – Rp 2 juta. Keempat, middle class  dengan pengeluaran antara Rp 2 – 3 juta. Kelima, upper middle class dengan pengeluaran antara Rp 3 – 5 juta. Keenam, affluent middle class  dengan pengeluaran antara Rp 5 juta – Rp 7,5 juta. Ketujuh, elite middle class  dengan pengeluaran lebih dari Rp 7,5 juta.

Andry Satrio Nugroho, Center of Industry, Trade, and Investment INDEF menyoroti industri manufaktur yang tumbuh melambat di tahun 2019 sebesar3,8% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 4,27% (yoy). Hal ini didorong oleh dua factor utama. Pertama, rendahnya kualitas investasi dan minimnya investasi di sektor manufaktur. Kedua, tidak tepat sasarannya insentif yang diberikan Pemerintah terhadap industri.

“Investor enggan berinvestasi di sector manufaktur. Ini dapat dilihat dari realisasi investasi yang kini didominasi oleh sector tersier (jasa) ketimbang sector sekunder (manufaktur) atau primer (pertanian). Alhasil, hal ini juga berdampak pada tingkat penyerapan tenaga kerja berbasis investasi yang juga semakin rendah tiap tahunnya,” jelasnya.

Ia menilai Pemerintah seharusnya memetakan mana investasi yang diperlukan dan yang tidak diperlukan, jangan membiarkan semua investasi asing masuk ke Indonesia melalui instrument Omnibus Law. Insentif fiscal yang diberikan oleh pemerintah melalui pengurangan pajak tanpa melihat kebutuhan industry hanya akan menambah daftar insentif yang tidak tepat sasaran. Beberapa industry tidak membutuhkan insentif fiscal melainkan faktor-faktor produksi yang efisien seperti harga energi yang kompetitif dan ketersediaan bahan baku.

Di tahun 2019 defisit neraca perdagangan juga menunjukkan penurunan dibandingkan 2018.Defisit pada 2019 tercatat sebesar USD3,19 miliar, lebih rendah disbanding 2018 yang mencapai USD8,68 miliar. Meskipun deficit lebih rendah, namun hal ini bukan disebabkan oleh peningkatan ekspor yang disertai dengan pengendalian impor (barang konsumsi), namun lebih disebabkan oleh tajamnya penurunan impor (khususnya bahan baku) yang lebih besar dari penurunan ekspor. Pada 2019 ekspor tercatat turun 6,9% namun impor turun hingga 9,56%. Hal tersebut jelas membuat deficit menjadi lebih rendah. Kondisi tersebut diperparah karena penurunan impor paling tinggi terjadi pada bahan baku/penolong (-11,07%) yang lazimnya digunakan sebagai input industry dalam negeri. Dengan anjloknya permintaan bahan baku oleh industry dalam negeri maka menunjukkan telah terjadi kontraksi pada manufaktur. Hal ini terkonfirmasi dari pertumbuhan produksi industry besar dan sedang yang tumbuh melambat dari 4,07% menjadi 4,01%.

Sementara itu Hanif Muhammad, Center of Innovation and Digital Economy INDEF menambahkan bahwa kinerja ekspor yang melambat menjadi catatan bahwa perkembangan e-commerce yang pesat belum mampu dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong ekspor terutama produk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Secara luas hal ini terkait dengan upaya untuk mendukung UMKM  lebih produktif dan berorientasi ekspor. “Saat ini kontribusi UMKM terhadap ekspor baru 14,5% padahal jumlah UMKM sangat besar yaitu 99,9% atau lebih dari 62 juta unit usaha yang ada. Pada 1998 UMKM menjadi tumpuan. Di tengah ambang resesi saat ini UMKM tidak boleh dipandang sebelah mata dan harus dikuatkan untuk menjadi mesin perekonomian. UMKM mampu menyerap 96% tenaga kerja,serta berkontribusi sebesar 60% terhadap PDB.