Pasien Kanker Diimbau Patuh terhadap Pengobatan Evidence-Based 

170
Pasien kanker seharusnya tidak memilih pengobatan nonmedis yang belum terbukti secara ilmiah.

 

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, kanker merupakan salah satu penyakit penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak di dunia. WHO mencatat, pada 2018 terdapat 18,1 juta kasus kanker baru dengan 9,6 juta kematian. Secara nasional, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi kanker di Indonesia mencapai 1,79% per 1.000 penduduk, berarti naik dari 2013 sebesar 1,4% per 1.000 penduduk.

Selain insiden kanker yang terus meningkat di seluruh dunia, sampai saat ini masih banyak mitos menyesatkan tentang kanker dan pengobatannya. Diperlukan komitmen dan upaya semua pihak untuk meminimalisasi. Pasien kanker juga diimbau untuk mengikuti prosedur pengobatan yang bersifat ilmiah dan evidence-based, seperti dikatakan Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, dokter hematologi onkologi medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) kepada media di Jakarta, Kamis (30/1/2020).

“Kanker terjadi karena proses yang panjang yang menyebabkan perubahan genetik dalam sel. Perubahan genetik sel terjadi karena multipenyebab, tetapi  ada juga yang telah diketahui sebagai penyebab tunggal, misalnya virus hepatitis penyebab kanker hati atau hematoma dan virus papilloma penyebab kanker serviks. Untuk mengetahui apakah tumor sudah pada tahap kanker atau tidak, perlu dilakukan tata laksana, yaitu biopsi. Sangat disayangkan, sampai saat ini masih banyak masyarakat takut atau tidak mau dibiposi karena takut menyebar,” katanya.

Pengambilan jaringan contoh berupa biopsi perlu dilakukan, prosesnya berbentuk pembedahan. Tindakan pembedahan ini mestinya tidak berdampak buruk. Namun, biopsi tanpa segera dilanjutkan dengan pengobatan yang adekuat dalam waktu yang tidak terlalu lama juga menyebabkan kanker berkembang dan perburukan kondisi. Karena itu, memutuskan untuk menjalani biopsi sebaiknya sekaligus juga memutuskan untuk mengikuti segera pengobatan yang adekuat sesuai standar.

Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM

“Setelah dipastikan sebagai kanker, perlu dilakukan pencarian adanya penyebaran di organ-organ lain lewat CT Scan dan PET Scan. Pemeriksaan untuk menentukan penyebaran kanker adalah suatu keharusan karena pengobatan pada kanker yang sudah menyebar dan yang belum menyebar berbeda,” ujarnya.

Ditambahkan, pengobatan pada kanker dapat dibagi menjadi dua bagian besar: pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pengobatan lokal berupa operasi dan radiasi, sedangkan pengobatan sistemik umumnya dengan cara memasukkan obat ke dalam tubuh, bisa berupa obat telan atau lewat suntikan atau infus. Selain itu, pengobatan tergantung stadium penyakit. Pengobatan bersifat paliatif jika kanker telah menyebar alias metastasis. Semakin dini diketahui, angka survival semakin besar. Kanker kelenjar getah bening (limfoma) terutama limfoma hodgkin, kanker padat pada anak, kanker testis, dan sebagian kecil kanker paru jenis sel kecil memiliki peluang kesembuhan tinggi.

Mengacu pada panduan internasional 

Tata laksana pengobatan kanker berupa diagnosis, penentuan stadium, serta terapinya. Tata laksana ini mengacu pada prosedur yang berlaku internasional. Indonesia berkiblat pada panduan dari Amerika Serikat (National Comprehensive Cancer Network atau NCCN) dan Eropa (panduan European Society Medical Oncology). Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan Panduan Nasional Penanggulangan Kanker.

Dalam dua dekade terakhir bermunculan terapi target yang bersifat antibodi monoklonal. Antibodi ini akan spesifik mengenali antigen tertentu yang hanya terdapat di sel kanker sehingga hanya menyasar untuk membunuh sel kanker. Antibodi monoklonal bisa diberikan sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan kemoterapi untuk meningkatkan efektivitas pengobatan. Namun, antibodi monoklonal tidak selalu menjadi standar pengobatan sehingga kemoterapi tetap menjadi terapi utama pada kanker yang sudah menyebar.

“Saat ini juga berkembang inovasi terbaru dalam pengobatan kanker, yaitu imunoterapi. Namun, terapi ini memang belum bisa diterapkan pada semua jenis kanker. Kanker yang sudah menjadikan imunoterapi sebagai terapi lini pertama adalah kanker tahi lalat (melanoma) dan kanker paru. Pengobatan imunoterapi saat ini baru direkomendasikan pada kasus yang sudah tidak bisa dioperasi dan menyebar jauh, tetapi tidak menutup kemungkinan suatu saat imunoterapi bisa diberikan pada kanker stadium awal,” ia menambahkan.

Ditekankan, sangatlah penting mengedepankan komunikasi dengan pasien dan keluarganya sehingga keberhasilan cancer treatment sesuai tata laksana pengobatan semakin tinggi. Komunikasi yang kuat harus dibangun antara dokter, pasien, dan keluarga pasien agar tercipta kepercayaan di antara kedua belah pihak. Langkah ini bisa menjadi strategi agar pasien dan keluarga mau mengikuti prosedur pengobatan dan tidak memilih pengobatan nonmedis yang belum terbukti secara ilmiah. (est)