KPK Diminta Tak Setengah Hati Berantas Korupsi

80
Firli Bahuri-Rayi Gigih

Sironline.id, Jakarta – Direktur LP3ES center for Media and Democracy, Wijayanto mengatakan revisi UU KPK yang dinilai banyak pengiat antikorupsi sebagai bentuk memperlemah KPK dan disahkan akhir tahun lalu rupanya mulai menuai hasilnya. Buktinya kondisi terkini KPK dan pemberantasan korupsi semakin suram.

“Apa yang menjadi kekhawatiran sejak lama tentang akan makin lemahnya KPK setelah revisi UU mulai terbukti. Bukti itu dapat kita lihat dari penanganan kasus yang diduga melibatkan komisioner KPU dan pengurus PDIP yang kini tengah berlangsung,” ujarnya membuka diskusi bertajuk Hukum Politik dan Politik Hukum KPK, Minggu (19/01/2019).

Lebih lanjut dosen UNDIP ini mengatakan sejak awal telah ada pertanyaan besar tentang komitmen Ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri terhadap pemberantasan korupsi. Menurut Wijayanto, Firli tidak hanya dinyatakan memiliki masalah kode etik oleh KPK sendiri, namun juga dianggap terlalu dekat dengan partai PDIP.

Meski sempat dibatah, namun lambannya KPK dalam melanjutkan penyidikan terhadap kader PDIP membuktikan kekhawatiran itu memang beralasan. Ia menduga, satu minggu tentu cukup untuk menyembunyikan bukti-bukti yang penting. Hal yang sangat penting agar rencana penggeledahan dirahasiakan. Jangan sampai bocor kepada satu pihak pun bukan malah dimumkan pada media.

“Pengumuman yang kemudian menjadi headline di berbagai media bahwa penggeledahan di kantor DPIP akan dilakukan pekan depan adalah kenyataan yang ironis dan menggelikan,” tegasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalih penundaan penggeledahan KPK adalah belum adanya ijin dari dewan pengawas, membuktikan DEWAS justru menjadi penghalang dari pemberantasan korupsi.

“Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada Dewan Pengawas, mereka harus mulai berhitung dengan waktu. Jika sampai 3 bulan ke depan, ternyata memang hanya memperlambat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, maka demi menjaga integritas dan nama baik mereka sendiri, lebih baik mereka menyerukan pegunduran diri,” ujarnya.

Tak hanya Dewas, Wijayanto juga mengingatkan Menkum HAM, Yosanna Laoly, bahwa ia bukanlah petugas partai PDIP namun seorang menteri. Menteri yang juga politisi PDIP ini harus keluar dari loyalitas sempit kepada partai menuju loyalitas kepada bangsa. Sebagai Menhkumham bertugas mendorong penegakan hukum terjadi tanpa pandang bulu. Termasuk jika yang diduga menjadi pelakunya adalah kader partai politik di mana ia bernaung.

“Ia tidak boleh dan tidak bisa justru menjadi tim kuasa hukum PDIP yang kepentingannya jelas bertentangan dengan itu. Keberadaannya dalam tim hukum PDIP membuat kita bertanya tentang komitmen dan etika politiknya sebagai menteri. Jika ingin menjadi tim kuasa hukum PDIP, dia mestinya mengundurkan diri dari posisi menteri,” tegasnya

Berikutnya Wijayanto menyorot komitmen politik presiden dalam gerakan pemberantasan korupsi yang menjadi panglima dalam gerakan pemberantasan korupsi. Pernyataan Presiden yang justru membiarkan menterinya menjadi tim hukum yang membela PDIP dengan dalihnya adalah juga kader PDIP adalah sesuatu yang sangat mengecewakan.

“Di sini jelas terjadi konflik peran antara Yasona sebagai menteri dan sebagai pengurus partai. Inilah mengapa penting bahwa Presiden mesti meminta semua yang duduk di kabinet harus meninggalkan posisinya di partai. My loyalty to party ends when my loyalty to the country begins. Tanpa ketegasan ini maka konflik peran yang serupa akan tetap terjadi di masa depan,” tambahnya.

Sementara itu, PDIP, yang mengaku sebagai partainya wong cilik dan sadar bahwa korupsi adalah tindakan yang menyengsarakan rakyat karena dana pembangunan yang seharusnya diperuntukkan bagi mereka justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi elit, patut menjadi catatan sendiri bagi Ketua Umum PDIP Megawati, bukan pelemahan KPK yang justru diorkestrasi oleh PDIP menjadi ironis.

“Mengapa kita mengatakan PDIP yang mengorkestrasinya? Sejak didirikan pada 2002, KPK memang kerap mendapat serangan, namun serangan itu lebih diarahkan pada individu-individu yang bertugas, bukan kelembagaan. Kali ini UU diubah dan ini mungkin terjadi karena DPR dan Presiden sama-sama menyetujuinya. Jadi, KPK menjadi demikian lemah, karena ada kolaborasi antara DPR dan istana. Dan di kedua tempat itu, PDI-P lah penguasanya. Di DPR PDIP adalah salah satu inisiator revisi UU. Di istana, Presiden Jokowi adalah kader PDIP yang oleh Megawati bahkan pernah disebut sebagai petugas partai,” pungkasnya.

Pelemahan KPK hari-hari ini harus menjadi alarm tanda bahaya yang menyatukan semua elemen masyarakat sipil. Karena salah satu penyebab kondisi ini terjadi adalah terfragmentasinya masyarakat sipil. Di saat perhatian bangsa sedang terpusat pada peristiwa penanganan korupsi KPU dan PDIP, perhatian publik juga dikejutkan oleh kasus-kasus maha besar yang terungkap satu per satu ke permukaan mulai dari Jiwasraya Rp 13.7 triliun; Asabri Rp 10 triliun; Bank Century Rp 8 triliun; Pelindo II Rp 6 triliun, Kota Waringin Timur Rp 5.8 triliun; BLBI Rp 4.5 triliun; E-KTP Rp 2.3 triliun; dan Hambalang: 700 miliar.

Pencegahan Korupsi Setengah Hati

Rimawan Pradiptyo, PhD, Dosen FEB UGM yang juga Koordinator aliansi akademisi anti korupsi Indonesia mengatakan terbitnya UU 19/2019 tentang revisi UU KPK membuat negeri ini berada di persimpangan jalan. Ketika pelemahan terhadap KPK dilakukan melalui UU 19/2019, maka kekawatiran para akademisi pun terjadi.

Tidak ada lagi amanah reformasi yang tersisa. Jarum pendulum seolah telah dikembalikan ke masa sebelum reformasi, saat Orde Baru berkuasa. Budaya integritas yang telah muncul dan berkembang selama 14 tahun terakhir, sejalan dengan beroperasinya KPK sejak 2005, dengan sekejap dapat luluh lantak, digantikan oleh budaya yang permisif terhadap korupsi.

“Lalu pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Indonesia akan menuju ke mana? Nampaknya kita sebagai bangsa berada di persimpangan jalan. Satu hal yang pasti, bahwa nasib suatu bangsa ditentukan oleh perjuangan dari bangsa itu sendiri. Saatnya kita bertanya kepada diri sendiri, mau dibawa ke mana negeri ini, dan nasib generasi penerus kita. Apapun jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, nasib bangsa ini hari ini dan ke di kemudian hari, adalah 100% tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara negeri ini,” tambahnya.

Senada dengan Rimawan, peneliti senior LP3ES, Malik Ruslan SH mengatakan berbicara kerja-kerja pemberantasan korupsi, mau tidak mau, suka tidak suka, publik akan digiring ke dalam wilayah “ke-tidak-ideal-an”, mengingat UU No. 19/2019 yang merupakan payung hukum KPK itu sendiri terlahir dari proses yang cacat dan dengan konten yang menunjukkan inkonsistensi bahkan cacat logika. Maka, di satu sisi, publik mengharapkan KPK berjalan ideal. Namun, di lain sisi, KPK itu sendiri menghadapi situasi hukum dan politik hukum yang tidak ideal.

Jika dicermati lebih mendalam, UU No. 19/2019 sebetulnya juga melemahkan KPK dalam konteks pencegahan. Dari 26 poin pelemahan yang dirinci KPK, sekurang-kurangnya ada tiga poin yang secara langsung terkait dengan aspek pencegahan: (1) dengan berlakunya UU No. 19/2019, KPK praktis hanya berkedudukan di Ibukota negara (Pasal 19), berbeda dengan UU No. 30/2002 yang memungkinkan KPK membentuk kantor perwakilan di ibukota provinsi (Pasal 19 ayat [2] UU No. 30/2002 dihapus).

“Kelahiran UU No.19/2019 merupakan bukti dari pelemahan KPK secara sempurna. Hal ini bertolak belakang dengan narasi Penjelasan atas UU No. 19/2019 alinea kedua yang berbunyi, “…dan karena itu tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”. Jika batang tubuh UU No. 19/2019 tersebut disandingkan dengan narasi Penjelasannya, terlihat ada kesenjangan sangat lebar di antara keduanya,” jelasnya. D. Ramdani