Korupsi komisioner KPU Karena Pengawasan Internal Lemah

33
dok istimewa

Sironline, Jakarta – Kasus suap yang menyeret eks Komisoner KPU Wahyu Setiawan bersama tiga orang utusan PDIP lainnya, yakni pengacara Donny Tri Istiqomah, eks anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan Saefullah, berakar dari polemik seputar penetapan penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR. Politikus PDIP Adian Napitupulu mengatakan jika kasus Wahyu ini bermula dari suara tidak bertuan, Nazarudin Kiemas. Kemudian MA menyatakan bisa suara itu dipindahkan, oleh sebab itu, perolehan suara Nazarudin Kiemas menjadi kewenangan diskresi PDIP.

Menurutnya, PDIP berbekal putusan MA menunjuk Harun menggantikan Nazarudin. Kemudian untuk memperkuat landasan tersebut, PDIP meminta MA mengeluarkan fatwa. Sayangnya kedua produk MA tersebut diabaikan KPU serta memutuskan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin.

“Pada duduk perkara ini Harunlah yang menjadi korban karena hak dari partai yang berlandaskan putusan dam fatwa MA diabaikan KPU. Posisi Harun menurut KPK, ia pelaku. Namun bisa jadi korban karena haknya belum diterima dan terpancing oleh janji suksesi oleh Wahyu Setiawan,” paparnya dalam diskusi ‘Ada Apa di Balik Kasus Wahyu?’ di Warung Komando, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (19/1/2020).

Adian meminta KPK supaya tidak masuk ruang opini seperti mengenai berita sumir mengenai keributan di kantor DPP PDIP. Ia mengungkapkan, saat upaya penggeledahan berlangsung tidak ada cekcok antara pihak KPK dan petugas DPP PDIP. ”Ini harus disampaikan jangan sampai fakta yang sampai ke masyarakat salah,” katanya.

Sementara itu, Yenti Garnasih menilai kasus eks Komisioner KPU ini merupakan kasus penipuan. Mantan Ketua Pansel Pimpinan KPK itu menilai Wahyu menipu Harun Masiku dengan janji bisa menjadikannya anggota DPR. Nyatanya, yang bisa meloloskan Harun jadi anggota DPR adalah seluruh pimpinan KPU, bukan Wahyu seorang. Menurut Yenti, ia meyakini pernyataan KPU yang mengatakan tak mungkin tak ada kolektif kolegial dalam kasus suap Wahyu.

Dari situlah, menurut Yenti, diyakini modus kasus tersebut adalah penipuan. “Dan kemudian bagaimana pada akhirnya penyuap memberikan, padahal menurut KPU tidak mungkin kalau tidak kolektif kolegial? Nah di situ saya mengatakan, mungkin di situ ada yang meyakinkan penipuan tidak apa-apa di situ. Ada penipuannya, nggak masalah menurut saya,” ujarnya

Menurut Yenti, bila KPK menetapkan kasus Wahyu Setiawan sebagai kasus suap, harus dirunut secara jelas kronologinya. Hal itu untuk pembelajaran bagi penegak hukum melihat modus dalam suatu kasus. “Kalau berkaitan dengan unsur penyuapan Wahyu di sini ada pasal 5 atau pasal 12, ya nggak apa-apa. Tapi diberikan kronologis ini penting adalah pembelajaran bagi penegak hukum untuk melihat modus mereka melakukan ini, ini penting,” imbuhnya.

Menurutnya Wahyu diduga meyakinkan Harun bisa menjadi anggota DPR asal mau mengeluarkan uang. Namun, di sini Harun juga dapat dikatakan salah karena menuruti permintaan tersebut. Memberikan uang kepada Wahyu untuk menjadi anggota DPR adalah tindak pidana suap. “Ada korupsinya karena yang bersangkutan (Wahyu) merupakan penyelenggara negara,” kata Yenti.

Meski begitu, Yenti mengingatkan bahwa KPK harus membuktikan Harun dalam unsur penyuap. Sebab, unsur penyuap itu harus terbukti menjadi inisiator memberikan uang kepada Wahyu untuk mengubah pendapatnya, dalam hal ini pergantian anggota DPR Fraksi PDIP. “Jangan sampai ini penipuan, inisiatif dari penipu. Dia (Wahyu) mengiming-imingi (Harun),” ujar Yenti.

Pengawasan KPU Lemah

Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan,Emrus Sihombing, menilai kasus dugaan suap yang menjerat mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dapat menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap praktik korupsi yang terjadi di lembaga penyelenggara pemilu itu. “Kalau pakai teori gunung es, kasus ini kan baru di permukaannya yang ketahuan. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar,” ujar Emrus.

Menurut Emrus, tindak pidana dugaan korupsi yang dilakukan Wahyu dapat terjadi lantaran pengawasan yang lemah di internal KPU. Faktor tersebut kemudian menjadi celah bagi para pegawai “nakal” untuk melancarkan aksi rasuah. Dugaan tersebut, kata dia, diperkuat dengan pernyataan Wahyu yang menggunakan kalimat “siap mainkan” untuk membantu penetapan kader PDIP Harun Masiku (HAR) sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu (PAW).

“Kata ‘mainkan’ itu pertama berarti di situ dia setuju, dia berpeluang besar melakukan, dan terkait dengan orang lain,” papar pria yang juga menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner itu.

Lebih lanjut Emrus menyarankan agar pihak berwenang mencari rekaman saat para komisioner KPU menggelar rapat pleno memutuskan siapa calon legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi anggota DPR-RI pengganti antar-waktu (PAW). “Ada tidak rekaman itu? Bongkar itu semua, nanti ketahuan siapa saja yang bermain,” ucapnya.

Emrus meyakini, dugaan adanya praktik korupsi yang dilakukan KPU itu tidak hanya terjadi di tingkat pusat, melainkan juga di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dia kemudian mendorong agar dilakukan penyelidikan di tataran KPU daerah untuk mengungkap dugaan adanya “borok” di lembaga penyelenggara pemilu itu. Hal tersebut, kata dia, semata-mata dilakukan untuk memperbaiki kinerja KPU ke depan.

“Kalau kita mau membongkar itu, andaikan informan dan key Informan kita adalah kepala daerah yang sudah habis masa jabatan, DPRD yang sudah habis masa jabatan, dan KPUD yang sudah habis masa jabatan semua di interview, akan terbuka itu,” ujar Emrus.

“Ini dibongkar dengan tujuan kita ingin memperbaiki KPU sehingga terbongkar data-data permainan tersebut. tetapi sumber kita lindungi. Kita tidak persoalkan siapanya, tetapi apanya yang terjadi supaya kita perbaiki KPU,” tutupnya. D. Ramdani