Sejumlah Aktivis Minta Pemerintah Tak Batasi Demokrasi

619
20th INDEMO-Rayi Gigih

Sironline.id, Jakarta – Menyikapi dinamika politik tanah air saat ini, aktivis senior Hariman Siregar mengatakan peta demokrasi saat ini sudah berbeda dengan zaman dulu. “Kini zaman fintech, orang lain cara pandang demokrasi beda, makanya saya tampilkan pemikir milenial dalam “Mendengar Suara Rakyat” dalam ulang tahun kali ini,” katanya usai merayakan ceremonial potong tumpeng memperingati 20 Tahun InDEMO dan 46 Tahun Peristiwa 15 Januari 1974 (MALARI) di Gedung Perfilman Usmar Ismail Jakarta Selatan, Rabu 15/01/2020).

Pada kesempatan itu, ia mengatakan jika demokrasi saat ini Indonesia memerlukan pemimpin yang tegas sehingga bisa mewujudkan mimpi jadi paling kuat di Asia. Karena itu, ia menyampaikan jika untuk jadi aktivis itu perlu jiwa-jiwa semangat perjuangan. “Jika perlu semangat api di perut kita,” tegas di hadapan ratusan aktivis.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bilal Dewansyah mengatakan jika dalam negara demokrasi, pemerintah harus melindungi hak sipil dan politik serta kebebasan dalam berekspresi rakyatnya. “Tapi saya melihat ada aspek-aspek rule of law di Indonesia terancam mengalami pelemahan  yang membuat demokrasi semakin lunglai. Jangan sampai demokrasi Indonesia dikangkangi oleh subtansif otoriterian,” jelasnya.

Menurutnya pembatasan demokrasi sudah makin terasa di kampus, banyak kegiatan demokrasi yang mulai dibatasi. “Menurut saya aturan jangan dijadikan alat melemahkan demokrasi. Berilah kebebasan bagi demokrasi di kampus. Saya khawatir jika terjadi pembatasan akan menghalagi aktivitas demokrasi dalam kebebasan bersuara. Menurut saya demokrasi itu anti kekerasan. Tapi dengan adanya sejumlah pembatasan, mahasiswa jadi takut demo. Jangan sampai pembatasan ini menjadi pelanggaran atas kebebasan berpendapat,” tegasnya.

Senada dengan Bilal, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto juga merasakan demokrasi di Indonesia banyak mengalami kemunduran dan menuju ototitarisme. Dalam hal ini yang akan dikorbankan adalah rakyat. “Yang kita khawatirkan demokrasi Indonesia dibajak oligarki,” ujarnya.

Menurutnya regresi demokrasi Indonesia sangat kentara pada Pilpres 2019 lalu dimana terjadi money politik diberbagai tempat yang terungkap media hingga adanya berbagai instruksi Presiden untuk memerangi hoax capres incumbent serta memerintahkan TNI untuk mensosiliasikan kemajuan dari pemerintahan periode 2014-2019.

Berikutnya Wijayanto mengatakan pelemahan demokrasi juga terjadi saat kubu petahanan melakukan pelemahan pada oposisi hingga bergabungnya oposisi dalam pemerintahan saat ini. “Pelemahan demokrasi juga terjadi dimana negara melakukan pembiaran toleransi penggunaan kekerasan. Contohnya aksi demo saat menuntut pelemahan KPK beberapa waktu lalu, “ ujarnya.

Wijayanto juga mengatakan pelemahan demokrasi terjadi pada sipil dan media. Hal ini dengan adanya edaran rektor yang menyatakan pihak kampus tidak mendukung mahasiswa yang ikut berdemo beberapa waktu lalu.

“Pada akhirnya korban paling parah adalah imajinasi politik kita. Padahal bangsa ini ada karena imajinasi politik. Ribuan tahun lalu jika nggak memiliki imajinasi politik, tak akan pernah ada bangsa Indonesia seperti saat ini. Karena dulu Indoensia terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di berbagai daerah. Terakhir saya harap kalangan intelektual yang dekat dengan kekuasaan jangan sampai hilang nalar dan menjadi stempel kekuasaan,” ucap penulis buku Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia.

Melanjutkan Wijayanto, peneliti INDEF Bhima Yudishtira mengatakan jika mahasiswa generasi 2019 saat ini sedang melawan mantan aktivis 1998 yang saat ini banyak berada dalam lingkaran kekuasaan. Seolah ada generasi yang hilang antara aktivis tahun 70-an, 98 dan saat ini. “Saya khawatir Indonesia dikuasai oligarki dengan berbagai kekuatan ekonomi mereka,” tegasnya.

Ia pun menilai jika buntut dari pelemahan demokrasi, dengan mudah Indonesia dipecah belah hingga disusupi berbagai begara. “Saat ini pemerintah bangga dengan 5 unicorn yang disebut milik Indonesia, padahal banyak pelaku usaha yang kurang mendapat perhatian, dimana demokrasi bagi orang kecil?. Bagaimana pula rakyat miskin Indonesia bisa menjadi seperti Nadiem Makarim pemilik daring ojek online atau Achmad Zaki pemilik Bukalapak, jika 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting. Tetap saja ke depan, generasi yang akan menguasai Indoensia adalah anak-anak oligarki (pengusaha) yang memberikan asupan nutrisi cukup sejak anak-anak mereka dalam kandungan,” tutupnya. D. Ramdani