Beri Pendampingan kepada Korban Tanpa Menghakimi

78
Foto: Rayi Gigih/IO

 

Definisi kekerasan seksual adalah setiap tindakan, ucapan, atau perbuatan yang dilakukan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tanpa adanya persetujuan. Diungkapkan dr. Gina Anindyajati, SpKJ, dari Divisi Psikiatri Komunitas, Rehabilitasi, dan Trauma Psikososial Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-RS Cipto Mangunkusumo, ada 15 bentuk kekerasan seksual, yakni pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pelecehan seksual, prostitusi paksa, penyiksaan seksual, praktik tradisi, eksploitasi seksual, pemaksaan kehamilan, pemaksaan kontrasepsi, kontrol seksual, penghukuman nuansa seksual, perdagangan perempuan, intimidasi seksual.

“Siapa pun bisa menjadi korban kekerasan seksual. Anak, dewasa, atau lansia. Perempuan, laki-laki bisa jadi korban. Kekerasan seksual tidak pilih-pilih,” ujarnya dalam seminar bertajuk “Waspadai Kekerasan Seksual” di Jakarta, Jumat (10/1/2020).

dr. Gina Anindyajati, SpKJ. (Foto: Esti)

Data dari Komnas Perempuan, korban kekerasan seksual anak-anak perempuan 18%, laki-laki 8%; orang dewasa perempuan 35%, laki-laki 1,5-1,7%, lansia perempuan 17%, laki-laki 0,6-1,2%. Sementara itu, pelaku kekerasan seksual: anak-anak 35,6% perempuan 7%, laki-laki 93%; orang dewasa 34,4 perempuan 22%, laki-laku 78%, lansia 21-30%.

Ada beberapa faktor risiko seseorang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Faktor risiko didefinisikan sebagai keadaan atau karakteristik yang terkait peningkatan kemungkinan seseorang menjadi korban. Faktor tersebut di antaranya berusia muda, punya riwayat dianiaya saat kecil, pernah menjadi korban kekerasan seks sebelumnya, menggunakan obat psikotropika dan adiktif, memiliki banyak pasangan seksual, hidup di lingkungan masyarakat yang sanksi terhadap pelaku kekerasan seksualnya rendah, tinggal di lingkungan dengan norma sosial yang mendukung kekerasan seksual atau dengan ideologi seksual sebagai hak laki-laki.

“Tinggal di lingkungan dan punya riwayat seperti ini, meningkatkan risiko menjadi korban kekerasan seksual. Dampak kekerasan seksual pada korban akan tampak dalam fisik, psikiatrik, sosial,” ujarnya.

Dampak fisik akan tampak dalam bentuk masalah somatik, kesehatan fisik yang lebih buruk, persepsi kesehatan fisik yang lebih buruk, lebih sering mengunjungi dokter, disabilitas pekerjaan, menderita penyakit dan nyeri kronis, perilaku seksual berisiko tinggi (seks tanpa kondom, banyak pasangan dll), mengalami masalah seksual (nyeri saat sanggama, vagisnismus pada perempuan), serta risiko lebih besar tertular HIV dan infeksi menular seksual lewat darah.

Diungkapkan dr. Gina, dampak psikososial kekerasan seksual perlu diperhatikan. Korban biasanya terlambat menyadari dampak psikiatrik dan sosial yang dialami. Gejala psikiatrik kekerasan seksual antara lain gangguan jiwa, tekanan psikologis, disosiasi, stress pasca trauma, menyakiti diri sendiri, dan berpikir bunuh diri.

Dampak sosial yang rentan dialami korban antara lain sulit percaya pada orang lain, mengisolasi diri, dan takut membina relasi dekat dengan orang lain. Gangguan psikiatrik dan sosial bisa dihindari jika ada intervensi cepat dan pendampingan. Namun, pendampingan korban kekerasan seksual cenderung tidak optimal terutama karena dalam penyidikan kasus, malah potensial memicu trauma berulang. Paling baik adalah memberikan dukungan tanpa menghakimi. (est)