PR Berat Menaker

91
antara foto

sironline.id, Jakarta – Presiden Joko Widodo memilih Ida Fauziah sebagai Menteri Ketenagakerjaan (Manaker) baru menggantikan Hanif Dhakiri. Ida Fauziah merupakan Menteri Ketenagakerjaan perempuan kedua sepanjang sejarah republik ini, setelah SKI Trimurti yang menjadi Menteri Perburuhan pertama di era Bung Karno lalu.

Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Pengurus Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) mengatakan akan ada banyak agenda Menaker dalam membenahi ekosistem ketenagakerjaan, dan sepertinya tugasnya akan semakin berat untuk bisa mendukung kemajuan ketenagakerjaan kita. Pidato Presiden Jokowi pada saat dilantik yang menginginkan adanya UU Cipta Lapangan Kerja, menjadi tugas berat Menaker mengingat UU tersebut akan ikut menyasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU lainnya seperti UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial untuk diganti.

“UU Cipta Lapangan Kerja akan memposisikan investasi sebagai yang utama dibandingkan kepentingan lainnya termasuk kesejahteraan pekerja. Nah, tugas Bu Menaker harus bisa menyeimbangkan semua kepentingan dalam UU Cipta Lapangan Kerja tersebut, sehingga tidak menjadi masalah atau ancaman bagi satu dua pemangku kepentingan ketenagakerjaan,” jelasnya.

Pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi oleh Menaker menurut Timboel adalah bagaimana meningkatkan kualitas pekerja Indonesia yang memang dinyatakan masih belum memenuhi kebutuhan industri. Demikian juga kualitas pekerja migran kita di luar negeri. Kompetensi, produktivitas dan etos kerja menjadi masalah yang selama ini mendera angkatan kerja kita.

Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) Nasional tahun ini sebesar 61,01 (masuk kategori menengah bawah). Indikator yang memperoleh nilai rendah pada IPK tersebut yakni kondisi lingkungan kerja, hubungan industrial dan produktivitas tenaga kerja. Menaker diharapkan mampu meningkatkan IPK nasional kita.

Kondisi lingkungan kerja yang masih dinilai rendah merupakan fakta bahwa masih banyak pengusaha yang enggan memperbaiki lingkungan kerja, sehingga bisa aman dan layak untuk para pekerja. Kondisi lingkungan kerja yang rendah ini merupakan resultan dari pola pikir pengusaha yang menilai K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) sebagai beban dan lemahnya pengawas ketenagakerjaan.

Biasanya pengusaha yang belum sadar dengan K3 akan memposisikan biaya K3 sebagai beban biaya yang harus diefisiensikan. Padahal seharusnya para pengusaha tersebut memposisikan K3 sebagai investasi untuk memastikan kesehatan dan keselamatan kerja para pekerja benar-benar aman dan nyaman sehingga akan mendukung tingkat produktivitas pekerja.

Hal lain yang mendorong pengusaha enggan memperbaiki kondisi lingkungan kerjanya adalah karena adanya program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) sehingga bila ada kecelakaan kerja atau sampai terjadi kematian maka biaya perawatan serta santunan akan ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan, bukan lagi ditanggung oleh perusahaan. Tentunya pola pikir ini tidak tepat dan hanya memposisikan pekerja sebagai obyek industri.

Masalah pengawasan ketenagakerjaan yang lemah sudah menjadi rahasia umum dari Menaker ke Menaker lainnya. Sepertinya memang sengaja dibiarkan lemah agar hukum positif ketenagakerjaan sekadar ada tanpa makna. Diserahkannya kewenangan pengawasan ketenagakerjaan ke Propinsi ternyata malah menurunkan kualitas dan kuantitas pengawas ketenagakerjaan. Masalah kekurangan jumlah pengawas ketenagakerjaan yang selalu dikeluhkan selalu dibiarkan terjadi dengan alasan anggaran.

“Semoga Bu Menaker tidak mengulang Menaker-menaker sebelumnya yang membiarkan Pengawas Ketenagakerjaan lemah. Tawaran adanya pengawasan secara tripartite untuk mengawasi kinerja pengawas ketenagakerjaan bisa memperbaiki kinerja pengawasan ketenagakerjaan ke depan,” tambahnya.

Ia menambahkan, hubungan Industrial (HI) yang masih dinilai rendah pada IPK membuktikan bahwa delapan sarana HI belum berjalan dengan baik. Komunikasi yang intens dan berkualitas Menaker dengan SP/SB serta Apindo akan mampu mendorong para pelaku HI bisa mencari jalan keluar atas permasalahan HI yang selama ini terjadi.

Bila SK Trimurti menaruh perhatian pada perpecahan di kalangan organisisasi buruh serta mendorong organisasi-organisasi buruh untuk memperkuat diri agar siap menghadapi segala kemungkinan, bisa menjadi agenda khusus Bu Menaker saat agar SP/SB saat ini bisa bersatu dalam ide, gagasan dan gerakan.

Pendidikan dan pelatihan vokasional secara massif dan sistemik harus menjadi agenda utama lainnya yang akan mendukung produktivitas Angkatan kerja kita. Fokus SDM yang disampaikan Presiden Jokowi harus menjadi target untuk meningkatkan kualitas SDM Angkatan kerja kita, termasuk pekerja migran kita. Dukungan anggaran untuk tujuan baik ini harus juga dipastikan lebih baik.

Persoalan jaminan sosial guna melindungi pekerja kita pun menjadi pekerjaan rumah Menaker lainnya. Tidak hanya pekerja formal tetapi bagaimana pekerja informal juga menjadi subyek jaminan sosial di empat program jaminan sosial yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Kehadiran instrument PBI (Penerima Bantuan Iuran) untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi pekerja informal miskin sangat dinanti segera, dan ini menjadi pekerjaan rumah yang urgen bagi Menaker.

“Tentunya masih banyak hal lain yang harus dibenahi dan diselesaikan oleh Bu Menaker. Dukungan secara produktif dan konstruktif dari semua pemangku kepentingan ketenagakerjaan kepada Bu Menaker sangat diharapkan untuk mendukung IPK kita yang lebih baik lagi ke depan,” tambahnya.