Cost Recovery Bukan Hal Negatif

96

sironline.id, Jakarta –  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan membuat kebijakan  pergantian skema kontrak migas dengan pembagian hasil dari cost recovery (CR) menjadi gross split (GS) berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Ignatius Jonan  No. 8 tahun 2017 yang berlaku mulai 16 Januari 2017. Aturan tersebut kemudian direvisi dengan Permen ESDM No. 52 tahun 2017 dengan adanya tambahan split untuk wilayah kerja dengan ketentuan tertentu. Ia menilai bahwa negara kerap kali harus menanggung beban cost recovery yang kerap membengkak, hal itu membuat jatah minyak negara akhirnya malah menyusut drastis. Namun perubahan skema kontrak migas dari cost recovery menjadi gross split hingga kini masih menuai pro kontra.

Iman Nurkamal,  anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) mengatakan penilaian bahwa kinerja production sharing contract (PSC) CR jelek, mungkin dikaitkan dengan produksi minyak turun dan cost recovery naik terus. Namun menurutnya penilaian tersebut kurang tepat dan harus diluruskan karena bicara kegiatan investasi ekplorasi dan eksplorasi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) CR tidak hanya kinerja produksi minyak tapi juga gas.

Melihat gambar sejarah profil produksi minyak dan gas dari data PWC-SKK Migas di bawah menunjukkan bahwa sejak tahun 2003/2004 produksi gas (1,4 juta barrel oil equivalent per day  atau boepd) sudah jauh di atas produksi minyak dan naik terus. Sebaliknya produksi minyak turun terus terkait dengan tidak banyak temuan cadangan minyak big fish.

“Era keemasan oil sudah berakhir diganti dengan era gas. Dengan demikian mindset masih era oil perlu diubah ke era gas apalagi potensi cadangan lapangan gas masih banyak yang belum dikembangkan sehingga kinerja produksi ke depan masih bisa stabil atau naik tergantung “timing” proyek pengembangan lapangan gas dan penyerapan gas oleh pasar domestic,” papar Iman.

Lebih jauh ia menilai banyak temuan HC kegiatan K3S CR selama puluhan tahun didominasi oleh gas dibandingkan minyak mulai dari laut Natuna, selat Makassar,  perbatasan Kaltara-Malaysia, Maluku-Australia, laut Jawa, selat Madura dan Papua.

“Nilai potensi cadangan gas tersebut diperkirakan bisa lebih dari 70 trillion cubic feet (TCF), potensi cadangan gas luar biasa dan jika diekuivalen Barel Oil Equivalent  (BOE) sekitar range 12 – 13 milyar BOE, bandingkan dengan cadangan minyak saat ini sekitar range 3 – 7 milyar bbl. Namun sayang banyak temuan HC gas tersebut kurang dikembangkan secara cepat karena alasan komersial terutama kesiapan infrastruktur penyerapan gas untuk kebutuhan domestik dan harga jual gas,” tambahnya.

Iman mengatakan, bicara kebutuhan energi maka energi gas bisa sebagai pengganti BBM dengan harga energi gas relatif lebih murah dan lebih bersih sehingga bisa mengurangi impor BBM. Bicara kebutuhan baku industri petrokimia dimana pasokan gas untuk industri petrokimia existing sedang mengalami penurunan, maka untuk bisa lebih murah perlu relokasi atau membangun baru industri petrokimia di dekat sumber gas.

Menurutnya Cost Recovery (CR) yang dikatakan naik terus, perlu dicheck “unrecovered cost“- nya (miliaran dollar?), mungkin sebagian CR tersebut berasal dari kegiatan investasi temuan eksplorasi dan eksploitasi cadangan gas big fish puluhan TCF yang belum dikembangkan atau dimanfaatkan sampai saat ini.  Di samping itu juga, banyak kinerja produksi lapangan gas yang sudah dikembangkan (Plan of Development /POD) tidak “perform” atau  tidak optimum karena tidak terserap oleh pembeli atau pasar sehingga seolah-olah revenue turun, sedangkan CR tetap atau naik.

Ia menilai tidak logis jika K3S CR tidak melakukan optimasi biaya operasi pada saat produksi minyak turun/harga minyak rendah atau pada saat masa transisi terminasi PSC. Banyak hal yang dilakukan untuk optimasi biaya produksi seperti negosiasi harga dengan vendor, konversi BBM ke gas, perampingan organisasi dan terakhir Mutual Agreement Termination ( MAT).

“Jadi setelah melihat paparan di atas maka bisa disimpulkan bahwa “cost recovery” bukan hal negatif, tapi merupakan investasi peningkatan cadangan/produksi yang tidak membebani keuangan negara, hal ini bisa dibuktikan dengan kinerja K3S (CR) selama puluhan tahun cukup bagus dan patut diapresiasi serta bisa dilanjutkan,” pungkasnya.