Nawacita Tak Bisa Diandalkan, Kemunculan Kembali GBHN Mencuat

140
Diskusi Wacana Kembali pada GBHN Rabu (04/09/2019) di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta (foto D. Ramdani

Sironline.id, Jakarta – Di penghujung masa pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali mencuat wacana jika Indonesia memerlukan Haluan Negara agar rencana pembangunan dapat berkesinambungan tiap pergantian Presiden dan kepala daerah. Mencuatnya isu yang kian santer diperbincangkan ini dipertanyakan analis politik Kedai Kopi Hendri Satrio. Menurutnya mengapa baru sekarang, bukan sejak awal pemerintahan Jokowi.

“Apa ini bentuk pengakuan dari lembaga legislatif bahwa nawacita tidak bisa dilaksanakan, sehingga muncul perlu adanya haluan negara atau yang dulu kita sebut GBHN,” jelasnya.

Padahal lanjut Hendri sudah ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang merupakan visi dan misi Presiden terpilih yang dianggap telah disetujui rakyat sehingga tanpa perlu dikaji kembali. Yang menjadi kekhawatiran banyak pihak dengan akan dilakukannya amandeman UUD 1945 kelima kalinya ini yang hanya bisa dilakukan oleh MPR akan mengubah pasal-pasal dalam UUD 1945 lainnya.

Menyikapi hal tersebut, Politisi PDIP Ahmad Basarah menegaskan jika DPR dan MPR dua periode ini telah menyetujui agar negara kembali memiliki Haluan Negara seperti GBHN pada era Orde Baru lalu. Bahkan Presiden dan lembaga negara lainnya telah menyetujui hal tersebut. Kesepahaman ini pun telah disampaikan pada sidang paripurna MPR.

Menurutnya subtansi perlu adanya Haluan Negara sebagai pengganti GBHN karena MPR memotret adanya ketidaksinambungan rencana pembangunan nasional setiap kali perubahan kepemimpinan baik di pusat hingga provinsi, dan kabupaten/kota. Seperti diketahui pada amandeman UUD 1945 sebelumnya telah dicabutnya kewenangan MPR untuk mengubah UUD dan GBHN.

“Perlu ditegaskan keinginan kami kembali memiliki Haluan Negara dengan memberikan wewenang pada MPR untuk mengubah UUD dengan amandeman terbatas. Artinya kita hanya akan mengembalikan kewenangan MPR mengubah UUD seperti pasal 3 ayat 1, tanpa menyentuh psal 6 ayat 1 dan pasal 7 ayat 1 dan 2 terkait pemilihan dan pemberhentian presiden. Jadi jelas amandeman UUD tidak akan mengubah aturan pemilihan presiden oleh MPR, tapi tetap dipilih oleh rakyat serta tidak adanya impeachment Presiden oleh MPR di tengah masa jabatannya,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menegaskan jika perlunya Haluan Negara agar adanya kesinambungan, sinkronisasi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota.

“Ini karena rencana pembangunan nasional didasarkan pada visi dan misi presiden, gubernur, bupati dan walikota terpilih, sehingga tidak ada kesinambungan satu dan lainnya. Jangankan pusat dan daerah, antar walikota saja bisa jadi program pembangunannya bertolakbelakang. Ini yang perlu dibenahi,” tegasnya.

Terkait dengan tidak bisa diandalkannya nawacita sehingga perlu adanya Haluan Negara, politisi PDIP ini mengatakan jika nawacita adalah legacy Presiden Jokowi. Dan tidak ada kewajiban presiden terpilih melanjutkan program presiden sebelumnya. Misal saja rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan bisa saja tidak terealisasi jika pada 2024 presidennya bukan dari PDIP yang menilai tidak perlu pindah ibu kota.

“Karena tidak ada kewajiban presiden selanjutnya,” tegasnya.

Senada dengan Basarah, Politisi PKS Nasir Djamil mengatakan jika tak mudah melanjutkan rencana pembangunan pemerintah secara berkesinambungan jika dalam UU mpo 17 tahun 2007 hanya memesankan presiden membuat program lanjutan untuk presiden selanjutnya, tanpa adanya sanksi dan aturan yang mengikat bahwa presiden berikutnya wajib melanjutkan rencana pembangunan pemerintahan sebelumnya.

“Makanya kami dari PKS menginginkan jika hal ini dikaji mendalam. Walaupun hanya mengubah sedikit saja pasal dalam UUD bisa mengubah fundamental sehingga harus dicari alternatif lainnya,” jelasnya.

Ia menegaskan jika pun harus kembali amandeman UUD dilakukan, MPR wajib menjelaskan pada rakyat Indonesia, latar belakang, implikasi dan dimana posisi rakyat Indonesia dalam amandeman terbatas tersebut.

“Soal pembangunan yang berkesimabungan ini memang bukan pekerjaan yang mudah, meski terbatas. Karena kita harus lihat aspek ketatanegaraan dan politik dalam arti luas dan sempit. Jangan sampai muncul pertanyaan amandeman ini akan mempersempit kekuasaan Presiden RI yang jauh lebih besar dari Presiden Amerika sekalipun,” pungkasnya. (D. Ramdani)