Impor Baja Vietnam dan China Meningkat Dua Kali Lipat di 2016-2018

226

sironline.id, Jakarta – Bisnis baja flat dalam negeri kian terpuruk. Direktur Eksekutif Indonesia Zinc Aluminium Steel Industries (IZASI), Maharany Putri mengatakan tingkat pertumbuhan konsumsi baja di Indonesia menempati peringkat pertama dari Negara ASEAN sejak tahun 2017 dan mengalami pertumbuhan sebesar 6,6 persen pada 2018. Namun, peningkatan permintaan sektor konstruksi tersebut justru diiringi dengan peningkatan impor baja dari Cina dan Vietnam. Ia menilai sejumlah regulasi tidak memihak pengusaha lokal. “Peningkatan kapasitas produksi nasional melalui ekspansi investasi maupun investasi baru pun akhirnya percuma jika permintaan tersebut lari ke impor,” ujarnya, Senin (9/9/2019).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan peningkatan impor Baja Lapis Aluminium Seng (BJLAS) terjadi sejak tahun 2013 dan naik signifikan pada tahun 2017 dan 2018. Diduga karena harga BJLAS impor lebih murah 40 persen di bawah harga BJLAS lokal. Harga jual baja impor yang rendah dimungkinkan karena banyaknya subsidi pemerintah dari negara pengekspor. Pengalihan kode tarif barang berimbas kepada perbedaan bea masuk, tersedia dan dapat diaksesnya fasilitas perjanjian dagang bilateral atau multilateral. “Padahal industri baja lokal memiliki kemampuan memenuhi volume dan standar kualitas yang dibutuhkan,” kata Maharany.

Ketua Umum IZASI Yan Xu menambahkan, pengusaha lokal bisa memproduksi baja lapis 1,1 juta ton per tahun. Angka tersebut bisa memenuhi permintaan pasar dalam negeri sebanyak 1 juta ton pada tahun 2018. “Seharusnya permintaan ini dapat dipenuhi industri lokal yang malah over supply. Impor karbon BJLAS dan Paduan BJLAS ini dirajai 90 persen impor oleh China dan Vietnam yang diketahui mengalami kenaikan dua kali lipat di 2016-2018 dan memenuhi demand (permintaan) nasional sebesar 57 persen, sebaliknya jatah industri lokal hanya 37 persen,” katanya.

Ia  mengatakan IZASI sangat mengharapkan dukungan pemerintah melalui kerjasama intensif dan kolaboratif antar departemen terkait untuk bisa mengkaji ulang aturan-aturan mulai dari standardisasi industri, pasar, tertib tata niaga, penyerapan produk industri dalam negeri serta tenaga kerja lokal hingga investasi.