Fintech Ampuh Dorong Inklusi Keuangan

36

sironline.id, Jakarta – Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (KAFEGAMA) menyelenggarakan Indonesia Fintech Forum 2019 (IFF 2019) pada Rabu (4/9) di Auditorium Dhanapala, Kementerian Keuangan. IFF 2019 dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution yang mewakili Presiden RI Joko Widodo. Ia mengatakan, adopsi teknologi sangat masif di industri keuangan dewasa ini. Hal itu terlihat dari cara masyarakat mengakses layanan keuangan. “Fintech lebih ampuh mendorong inklusi keuangan,” katanya.

Ia menyebut bahwa ekonomi digital, seperti fintech bisa menyokong perekonomian dunia. Hingga 2016, ekonomi digital berkontribusi sekitar 22% terhadap perekonomian global. Di Asia Tenggara, kontribusi ekonomi digital terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai 2,8% pada tahun lalu. Sumbangan diproyeksi naik menjadi 8% pada 2025.

Ia melihat, kondisi serupa terjadi di Indonesia. Hal itu terlihat dari pengguna ponsel pintar (smartphone) mencapai 133% dari populasi di Tanah Air. Lalu, yang menggunakan internet sekitar 56% dari populasi. “Hal ini menunjang perkembangan dari ekonomi digital di nusantara ini. Nilai pasar ekonomi digital Indonesia diproyeksikan US$ 100 miliar pada 2025,” katanya.

Ketua Umum KAFEGAMA Perry Warjiyo yang turut hadir di acara tersebut mengungkapkan bahwa saat ini perkembangan ekonomi keuangan digital di Indonesia juga sudah mengubah kehidupan di sektor riil. Berbagai inovasi digital di beberapa sektor industri terbukti dapat mempercepat dan memotong proses yang selama ini memakan waktu lama. “Hadirnya inovasi-inovasi digital di bidang ekonomi dapat mempercepat inklusi keuangan dan ekonomi kita yang saat ini baru mencapai 51%. Melalui fintech juga diharapkan lebih dari 60 juta UMKM yang saat ini belum tersentuh perbankan atau financial services dapat membantu mendorong perekonomian Indonesia”, katanya.

Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute dan Keuangan Digital, Sukarela Batunanggar mengatakan pertumbuhan dari pembiayaan yang diberikan fintech peer to peer lending dalam tiga tahun hampir Rp 50 triliun, dengan jumlah jumlah nasabah yang dilayani hampir 5 juta, baik di Jawa maupun luar Jawa. “Ini artinya tingkat literasi dari masyarakat cukup tinggi. Ke depan OJK ingin meningkatkan intensitas dari sosialisasi melalui digital channel yang dampaknya lebih luas ke masyarakat, dengan membuat digital content yang lebih mudah disebarkan dan dibaca masyarakat. OJK juga mewajibkan fintech yang terdaftar melakukan edukasi kepada nasabahnya sebelum melakukan keputusan untuk melakukan pinjaman,” tambahnya.

Menurutnya, OJK juga mendorong pemerintah dan dewan legislatif untuk membuat undang-undang mengenai financial technology atau fintech. Tujuannya, supaya keberadaan fintech memiliki landasan hukum yang jelas, sehingga pengawasan perkembangan fintech bisa semakin optimal, baik untuk fintech yang legal atau terdaftar di OJK maupun yang ilegal. Selama ini OJK hanya bisa melakukan pengawasan terhadap yang legal saja. ” Pemerintah yang melakukan inisiasi dan DPR kita harap berkolaborasi. Sehingga bisa ditegaskan kedudukan hukum fintech sebagai lembaga non keuangan dan cakupan bisnisnya,” ujarnya. (eka)