ICJR Desak Presiden Serius Mencabut Undang – Undang yang Menyulitkan Rakyat

24

Sironline.id, Jakarta – Dalam pidato kenegaraan di 16 Agustus 2019 dalam Sidang Tahunan MPR, Presiden menekankan bahwa Undang-undang yang menyulitkan rakyat harus dibongkar. ICJR mengapresiasi pernyataan Presiden tersebut, komitmen ini harus ditunjukkan dalam Pembahasan RKUHP dan juga refromasi sistem peradilan di Indonesia.

Dalam Pidato Kenegaraan Presiden dalam Sidang Tahunan MPR dan dalam Sidang Gabungan DPR RI dan DPD RI, Presiden menekankan tentang perlunya reformasi hukum. Dalam pidatonya di sidang tahunan MPR 2019, Presiden menyatakan

“Undang-undang yang bertabrakan satu dengan yang lain harus kita selaraskan. Undang-undang yang menyulitkan rakyat harus kita bongkar. Undang-undang yang menghambat lompatan kemajuan harus kita ubah,” kata Jokowi.

Pernyataan Presiden tersebut juga diulang dalam pidatonya di Sidang Gabungan DPR dan DPR yang menyatakan inti dari regulasi adalah melindungi kepentingan rakyat. Karena itu Presiden menekankan bahwa regulasi yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman, menyusahkan rakyat, menakut – nakuti rakyat, dan tidak konsisten harus dihapus.

Lebih lanjut Presiden juga menekankan bahwa ukuran kinerja pembuatan Undang – Undang harus diukur dari sejauh mana kepentingan rakyat, negera, dan bangsa itu bisa dilindungi. Presiden juga menekankan tentang penegakkan hak asasi manusia dari bagaimana potensi pelanggaran hak asasi manusia bisa dicegah dan karenanya pembangunan sistem, tata kelola, dan manajemen harus dibangun.

“ICJR mengapresiasi pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo tersebut. Terutama pada pernyataan Presiden bahwa inti dari regulasi adalah melindungi kepentingan rakyat,” kata Anggara Direktur Eksekutif ICJR.

Namun ICJR memiliki catatan untuk medukung komitmen presiden tersebut. Pertama, ICJR mengingatkan agar fokus pertama Presiden untuk menapati janjinya adalah dengan mencegah rancangan undang-undang yang menyulitkan Rakyat. Salah satunya adalah RKUHP yang diajukan oleh Pemerintah Presiden Joko Widodo yang saat ini dibahas oleh pemerintah dan DPR masih jauh dari perlindungan kepentingan rakyat dan memiliki potensi pelanggaran hak asasi manusia yang besar.

Banyak ketentuan dalam RKUHP yang sama sekali tidak berpihak pada kelompok sasaran yang ingin dilindungi oleh pemerintah. ICJR menilai bahwa sejak awal pembahasan RKUHP tidak didahului dengan evaluasi dan harmonisasi semua ketentuan pidana yang ada. Alhasil, pembahasan RKUHP dilakukan tanpa arah yang jelas.

Presiden harus berkaca pada RKUHP yang jelas mengancam kebebasan bereskpresi dan berpendapat dengan masih mengatur berbagai pidana yang berbahaya seperti penghinaan presiden dan juga kejahatan terhadap ideologi negara. Sejalan dengan itu ICJR menggaris bawahi pidato Presiden Joko Widodo yang secara spesifik menempatkan kejahatan terhadap ideologi sebagai ancaman terhadap keamanan Negara. ICJR memandang, kejahatan terhadap ideologi harus diatur dengan secara ketat agar tidak melemahkan perlindungan terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi, karena pada praktiknya kejahatan ideologi ini sangat rentan disalahgunakan seperti yang terjadi dalam kasus Budi Pego di Banyuwangi

ICJR mengingatkan bahwa kemerdekaan berpendapat dan berekspresi belum menunjukkan hal yang membaik. Laporan dari berbagai komunitas internasional juga menunjukkan hal yang serupa. Freedom House melaporan bahwa kebebasan internet di Indonesia sejak 2011 hingga 2018 tidak menunjukkan perbaikan yang signifkan dimana skor rata – rata menunjukkan 43,75 dan menempatkan Indonesia pada Negara dengan kategoari Partly Free. Reporters Without Borders juga melaporkan situasi yang sama dalam Indeks Kebebasan Pers. Pada 2019, Indonesia menempati skor 36.77. Dalam 5 tahun terakhir skor rata – rata Indonesia adalah 39,77. Hal ini menunjukkan situasi kemerdekaan pers di Indonesia juga masih dalam situasi yang sulit.

Kedua, fokus berikutnya adalah mencabut aturan yang jelas menyengsarakan dan menyulitkan rakyat. Hal ini dapat dilakukan melalui pembaruan kebijakan sistem peradilan pidana mulai Revisi KUHAP, revisi UU ITE, revisi UU Narkotika dan penguatan Hak Saksi dan Korban Tindak Pidana. Setidaknya isu hukum acara pidana, narkotika, ITE dan hak saksi dan korban tindak pidana adalah isu yang dalam periode pertama Presiden Jokowi menjadi sorotan sebab banyak memakan korban dari rakyat. kasus terakhir seperti Baiq Nuril jelas menunjukkan Presiden harus segera merombak KUHAP dan UU ITE serta mendorong lebih tegas perlindungan pada isu kekerasan seksual.

Untuk narkotika, cukup melihat bagaimana para pengguna dan pecandu dibiarkan menderita dalam penjara tanpa secara jelas memberikan jaminan kesehatan. Tingginya overcrowding Lapas karena tindak pidana narkotika namun jumlah pengguna yang makin meningkat merupakan sinyal kuat pendekatan narkotika sudah mulai harus diubah dari pendekatan kriminal menjadi isu kesehatan sebagaimana mestinya.

Ketiga, ICJR juga mengingatkan bahwa pemerintah dan DPR masih memiliki pekerjaan rumah untuk membenahi sistem peradilan pidana agar ramah terhadap perlindungan hak asasi manusia. Kasus – kasus penyiksaan terhadap tersangka dan terdakwa masih jamak ditemukan.

Karena itu, ICJR meminta Presiden untuk serius melakukan penataan terhadap sistem hukum utamanya terhadap sistem peradilan pidana dan melakukan reformulasi terhadap kebijakan hukum pidana yang melemahkan perlindungan terhadap rakyat terutama terhadap kelompok rentan. Presiden juga harus serius melakukan penataan mulai dari mencegah pasal-pasal dalam RKUHP yang menyengsarakan dan menyulitkan rakyat, segera melakukan reformasi KUHAP, revisi UU ITE, revisi UU Narkotika dan segera memperkuat aturan hak saksi dan korban. (dsy)