Rizal Ramli Prediksi Ekonomi Indonesia Melambat di Level 4,5%

52

sironline.id, Jakarta – Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan berada di level 4,5 persen. “Saya ingin mengatakan bahwa ekonomi Indonesia akan ‘nyungsep’ paling hanya 4,5 persen. Pemerintah Indonesia mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan 5,2 persen, tapi data terakhir saja sudah 5 persen. Ini akan anjlok terus ke 4,5 persen,” ungkap Rizal, Senin (12/8).

Perkiraan ini artinya ekonomi dalam negeri akan melambat dibanding 2018 yang masih tumbuh 5,17 persen. Rizal mengatakan proyeksi pertumbuhan 4,5 persen melihat mayoritas indikator makro ekonomi Indonesia terlihat negatif. Salah satunya, transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang semakin defisit. Pada kuartal II 2019, defisit mencapai US$8,4 miliar atau 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Angka defisit itu membengkak hingga 21 persen dari kuartal I 2019 yang hanya US$6,97 miliar. Jika diakumulasi, defisit transaksi berjalan periode April-Juni 2019 melebar 6,2 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$7,95 miliar.

Defisit transaksi berjalan yang melebar menurut Rizal juga tak lepas dari ekspor yang terus menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Juni 2019 anjlok 20,54 persen dibanding bulan sebelumnya yakni US$14,83 miliar. Sementara secara tahunan, ekspor turun 8,98 persen.

Nilai impor juga menurun sebesar 20,7 persen dari US$14,61 miliar menjadi US$11,58 miliar. Secara keseluruhan memang neraca dagang sebenarnya surplus pada Juni sebesar US$200 juta, tetapi angkanya hampir sama dengan periode sebelumnya. “Neraca perdagangan tidak bagus, memang bisa disalahkan faktor eksternal perang dagang. Tapi negara lain bisa memanfaatkan perang dagang, kalau Indonesia belum,” tambahnya.

Perkiraan Rizal Ramli itu jauh lebih rendah dibanding proyeksi Morgan Stanley yang memperkirakan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di kisaran 5 persen. Di tengah kondisi seperti ini, Rizal menilai kebijakan yang diambil pemerintah belum optimal. Pemerintah justru terkesan fokus untuk menarik pajak dari masyarakat kelas menengah ke bawah dibandingkan dengan menengah ke atas.

“Pemerintah malah fokus sama pajak-pajak kecil seperti ke pengusaha pempek misalnya, pecel. Harusnya kurangi pajak untuk pedagang menengah ke bawah agar kalau krisis ada bantalannya,” ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah juga menawarkan bunga obligasi yang tinggi dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, dan Filipina. Padahal, peringkat utang ketiga negara itu lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia. “Kalau menerbitkan obligasi negara itu seharusnya lebih rendah dari Vietnam, Thailand, dan Filipina. Tapi Indonesia selalu lebih tinggi 1,5 persen. Ini kan menambah utang hampir sepertiga,” tambahnya.

Ia bahkan memperkirakan menilai jika ekonomi terus melambat, transaksi berjalan semakin defisit, dan kebijakan pajak tak diubah, maka Indonesia akan kembali mengalami krisis tahun depan.