Partai Tak Serius Kaderisasi, Demokrasi Indonesia Mandeg

603
Dialog publik LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) bertema “Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia” Hotel Falatehan, Kamis (01/08/2019)

21 tahun pasca Reformasi tahun 1998, hingga kini demokrasi terkonsolidasi masih jauh dari harapan. Bisa dibilang demokrasi Indonesia masih jalan di tempat yang berlarut-larut. Bahkan di beberapa tempat mengalami kemunduran.

Wijayanto, Associate Director, LP3ES Center for Media and Democracy mengatakan masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu.

“Kita mengalami situasi krisis suara, kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi menghindari stigma berpihak kepada kelompok intoleran yang anti pancasila dan anti demokrasi,” jelasnya dalam dialog publik LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) bertema Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia di Hotel Falatehan, Jakarta, Kamis (01/08/2019).

Sedikit banyak lanjutnya, ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara anti pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti pemerintah. Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang mebutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontol kekuasaan.

Menyambung Wijayanto, peneliti LP3ES, Muhammad Najib menambahkan jika kampus perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era reformasi di mana kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan. Hal ini terlihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni kampus di mana orang-orang di lingkaran istana yang jadi ketuanya, pemberian gelar doctor honoris causa kepada elit politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masayarakat dan ilmu pengetahuan namun lebih karena pertimbangan politik.

Menurutnya, persoalan demokrasi terbesar lainnya ada pada lemahnya partai politik. Bukti persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius dan asal-asalan. Tokoh masyarakat, yang berkualitas dosen, peneliti semakin sedikit yang terlibat di eksekutif maupun legislatif.

“Selama dua dekade setelah refromasi partai belum mulai menunjukkan ikhtiar yang serius dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan pada masa menjelang pemilu. Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka tidak memperkuat pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai bisa dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih massif. Akhirnya sistem politik nasional diisi oleh kader-kader instant,” tegasnya.

Sementara itu, Fajar Nursahid Direktur Eksekutif LP3ES menjelaskan lemahnya internalisasi keadabaan sipil (civic virtue) di antara warga negara sebagaimana tampak dalam persteruan yang tajam, dangkal dan kurang beradab antara netizen di media sosial merupakan catatan penting lainnya. Selain itu, ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pembrangusan buku, pencekalan diskusi buku dan film, ancaman pidana untuk ilmuwam dari luar yang melakukan penelitian di Indonesia merupakan masalah lainnya. Penggunaan UU ITE untuk mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan berekspresi.

Setelah 4 tahun pemerintahan berjalan, kritik dari pada analis dalam negeri maupun luar negeri mulai muncul. Ed Aspinal (2018), Tom Powel dan Eve Warburton (2018 dan 2019) menganalisa perkembangan demokrasi di Indonesia dan berargumen bahwa terjadi kemandegan dan bahkan kemunduruan demokrasi di mana Jokowi mulai melakukan praktik non demokratis seperti membubarkan ormas tanpa proses hukum, meningkatnya intoleransi, semakin kuatnya polarisasi politik, masivnya kabar bohong dan pelanggaran hak asai manusia.

“Perlu partisipasi semua pihak baik intelektual, aktivis CSO’s, jurnalis dan partai politik untuk menyadari situasi kemandegan bahkan kemunduran demokrasi di Indonesia untuk bersama-sama berjuang Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia. Rendahnya dialog dan sinergi di antara berbagai elemen itu adalah masalah demokrasi kita hari ini,” pungkasnya.