Pemakaian Obat Kanker Perlu Diaudit

348

 

Data Globocan 2018, ada 348.809 penderita kanker baru dalam satu tahun di Indonesia. Paling banyak adalah kasus kanker payudara disusul kanker leher rahim, kanker paru, dan kanker usus besar (kolorektal). Total kematian akibat kanker sebanyak 207.00 kasus.

Hingga kini belum diketahui secara pasti penyebab penyakit kanker. Namun, seperti dituturkan dr. Ronald A. Hukom, Sp.PD-KHOM, FINASIM, Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam DKI Jakarta, kepada media di Jakarta, Jumat (19/7/2019), penyebab kanker multifaktor. Hanya 10 persen karena genetik, 90 persen karena pola hidup, kebiasaan, dan lingkungan.

dr. Ronald A. Hukom, Sp.PD-KHOM, FINASIM

“Misalnya karena tinggal di lingkungan yang mengandung medan elektromagnetik atau virus tertentu bisa meningkatkan risiko seseorang terkena kanker. Tidak semua penderita kanker paru adalah perokok, bisa jadi dia adalah perokok pasif,” katanya.

Sebagai penyakit katastropik, penderita kanker belum mendapatkan akses yang mencukupi dari pemerintah di era Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sekarang ini. Berita terbaru, dengan alasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang terus defisit, terapi target untuk kanker kolorektal dicabut dari Formularium Nasional (Fornas) dan dihentikan penjaminannya oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Tahun lalu, penjaminan obat Trastuzumab untuk kanker payudara HER2 stadium 4 juga dicabut karena alasan harganya sangat mahal, sekitar Rp 25 juta per ampul. Kanker payudara stadium 4 umumnya sudah tidak bisa dioperasi sehingga dokter biasanya akan menyarankan terapi obat.

Tentu keputusan tersebut disesalkan banyak pihak. Setelah keluarga dan pasien kanker payudara mengirimkan somasi kepada Presiden Jokowi dan Dirut BPJS Kesehatan, Menteri Kesehatan akhirnya mengeluarkan Keputusan Kemenkes bahwa obat kanker Trastuzumab atau Herceptin tetap dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Ditambahkan dr. Ronald, berkaca dari semakin meningkatnya kasus penyakit kanker yang belum tertangani dengan baik karena berbenturan dengan defisit BPJS Kesehatan, sistem audit pemakaian obat kanker perlu dilakukan secara berkala. Tujuannya untuk memastikan pemberian obat kanker kepada peserta JKN-KIS sesuai kebutuhan serta tak ada kesalahan pemberian obat.

“Dalam lima tahun penyelenggaraan program JKN-KIS belum ada audit khusus pemakaian obat kanker. Padahal, audit bertujuan untuk mendorong peningkatan mutu layanan. Audit ini untuk meneliti apakah rumah sakit dan BPJS Kesehatan di semua daerah mengikuti restriksi (pembatasan) seperti yang diatur dalam panduan Fornas,” katanya.

Ditekankan, audit bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk mencari tahu kenapa BPJS Kesehatan terus mengalami defisit. “Padahal, banyak obat peninggalan dari zaman Askes tahun 2013-2014. Kalau karena harga obat mahal, bisa diambil jalan tengah, cost sharing atau pemerintah menanggung 50 persen. Kita perlu audit, kenapa ada rumah sakit umum di luar Pulau Jawa yang penggunaan obatnya lebih banyak daripada RS Kanker Dharmais yang merupakan rumah sakit rujukan nasional untuk kanker,” ujarnya. (Est)