Tradisi Kawalu Baduy Dalam

1074
sironline/yoga agusta

sironline.id, Banten – Suku Baduy Dalam selama ini dikenal ketat menjalankan tradisi budayanya. Mulai dari tidak menggunakan listrik, alas kaki, hingga sabun mandi produk modernisme. Salah satu tradisi nenek moyang yang dijalankan hingga sekarang adalah Kawalu.

Kawalu merupakan bulan suci bagi Baduy Dalam. Berjalan selama tiga bulan setiap tahunnya, Kawalu diisi dengan doa-doa untuk memohon keselamatan alam dan manusia. Dalam tiga bulan itu, mereka akan berpuasa seharian tiap bulannya.

Tradisi ini adalah bagian dari ibadah kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut Suku Baduy Dalam. Selama Kawalu berjalan, wisatawan domestik maupun asing tidak diperkenankan masuk ke tiga kampung Baduy Dalam, yakni Cibeo, Cikawartana, dan Cikeusik, di Kabupaten Lebak, Banten.

Penutupan kawasan Baduy Dalam dimulai sejak Januari lalu hingga awal April. Hal ini juga berlaku untuk mereka. Anggota Baduy Dalam dilarang keluar desa selama Kawalu berlangsung. Penutupan kampung Baduy Dalam dilakukan demi menjaga kekhusyukan rangkaian ibadah mereka. Tradisi Kawalu sendiri digelar tiap bulan 10, 11, dan 12 berdasarkan penanggalan Baduy yang biasanya jatuh pada Januari-Maret pada penanggalan Masehi.

Masyarakat Badui sebelum melaksanakan tradisi puasa Kawalu, terlebih dahulu sore harinya memasak aneka makanan bersama anggota keluarga. Pelaksanaan puasa masyarakat Badui diawali pukul 24.00 WIB dilarang makan dan minum seharian dan berbuka puasa pukul 17.30 WIB.

Sebelum berbuka puasa, mereka wajib memakan daun sirih dan gambir. “Kami memperbolehkan makanan dan minuman setelah terlebih dahulu memakan daun sirih,” ujar Santa.

Santa, warga Badui mengaku bahwa mereka bersama anggota keluarga menyambut baik pelaksanaan puasa Kawalu Kedua. Sebab, masyarakat Badui wajib puasa sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu, menurut kepercayaan warga Badui, puasa menjadikan badan sehat, meski kondisi tubuh lemah. Masyarakat Badui Luar maupun Badui Dalam diwajibkan melaksanakan berpuasa Kawalu itu sejak balig atau usia 15 tahun ke atas. Syarat berpuasa itu adalah sudah dikhitan atau disunat.

Tradisi Kawalu juga dimaksudkan sebagai upacara untuk berdoa meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Berangkat dari sinilah, kami melihat adanya nilai nasionalisme di dalam Tradisi Kawalu yang dapat diangkat sebagai pendukung dari integrasi nasional.

Hal ini dikarenakan suku Baduy Dalam terkesan “jauh”, “pedalaman”, “primitif” seakan bukan bagian dari Indonesia. Namun, bukan berarti tidak dapat terintegrasi, sebaliknya, justru dalam tradisinya terdapat kecintaan dan kesetiaan pada negeri yang juga menjadi pendukung dari integrasi di lingkup nasional.

Masyarakat Suku Baduy juga meyakini bahwa mereka diberi tanggung jawab suci dari Yang Kuasa berupa “Setangkup lemah”; artinya “seluruh makhluk dan alam yang ada di bumi (tanah:lemah) ini”. Semuanya itu dititipkan dan diamanahkan pada suku Baduy sehingga harus dijaga melalui pelaksanaan tradisi khususnya Kawalu. (Mahra)