Tantangan Pemerintah Menurunkan Kemiskinan

195

sironline.id, Jakarta – Meskipun angka kemiskinan Indonesia sudah single digit, namun PR pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan belum selesai. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut bahwa sampai saat ini masih ada sekitar 24,7 juta jiwa masyarakat Indonesia yang masuk kategori miskin. Pemerintah akan melakukan berbagai upaya mengatasi hal itu. “Masih ada 24,7 juta jiwa yang harus dientaskan dari kemiskinan. Karena itu dari rapat terbatas ini saya ingin tekankan beberapa hal untuk kerja lebih fokus lagi, untuk menyasar penduduk sangat miskin,” katanya pada rapat terbatas dengan topik pembahasan strategi percepatan pengentasan kemiskinan di Kantor Presiden, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/3/2020).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan tahun 2015 sebesar 11,22%, menjadi 9,22% pada September 2019. Berdasarkan standar angka kemiskinan internasional yang digunakan Bank Dunia, jumlah penduduk sangat miskin saat ini sebanyak 9 juta jiwa atau 3,371 dari jumlah penduduk yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

“Oleh sebab itu kita bisa fokus menangani lebih dahulu yang 9,91 jiwa ini. karena itu data tentang siapa dan di mana warga kita ini harus betul-betul akurat sehingga program bisa disasarkan tepat pada kelompok sasaran yang kita inginkan,”tambahnya.

Di depan jajaran menterinya, Jokowi menargetkan tingkat kemiskinan ekstrim Indonesia pada 2024 berada di angka nol. Upaya mengentaskan kemiskinan ekstrem  akan dilakukan dengan serangkaian kebijakan. “Kita harapkan nanti di 2024 untuk kemiskinan ekstrem ini bisa berada pada posisi nol,” kata Jokowi.

Strategi pengentasan kemiskinan diharapkan dapat betul-betul terintegrasi satu sama lain antar kementerian dan lembaga. Program utama pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan diharapkan berjalan lancar. “Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), kartu sembako. Dan bagaimana intervensi dari sisi program untuk income generating warga miskin baik itu yang namanya Kredit Usaha Rakyat (KUR), Mekar, Bank Wakaf Mikro, dana desa,saya kira bisa disasar ke sana,” katanya.

“Juga yang berkaitan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Swasta. Ada Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN, ada Corporate Social Responsibility (CSR) sektor swasta, semuanya harus diarahkan ke arah ini. Kalau ini betul-betul bisa kita lakukan, terkonsolidasi, saya yakin angka nol tadi bisa kita lakukan,” tegasnya.

Sebagai informasi kemiskinan ekstrim atau extreme poverty merupakan definisi saat masyarakat hidup kurang dari US$ 1,9 per hari. Berdasarkan data Bank Dunia, ternyata Indonesia masuk dalam jajaran 15 negara yang mampu memerangi kemiskinan ekstrem selama periode 2000-2015 dari total 114 negara. Indonesia berada di peringkat 11.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menilai penurunan kemiskinan di Indonesia mendapatkan 4 tantangan serius, pertama perlambatan ekonomi, sifat kemiskinan yang satu digit (the last mile problem), ketidakpastian ekonomi global dan nasional yang semakin besar, dan korupsi. Hal tersebut akan mempersulit tujuan pertama Sustainable Development Goals yang menyebutkan bahwa tahun 2030, dunia terbebas dari kemiskinan, tidak terkecuali Indonesia.

“Seperti diketahui, penurunan angka kemiskinan sejak tahun 1970 menunjukkan capaian yang luar biasa dengan penurunan lebih dari 50 persen. Pada tahun 1970, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 60%. Per September 2019, tingkat kemiskinannya turun menjadi 9,22 persen. Sebuah capaian yang perlu diapresiasi,” jelasnya.

Berkaitan dengan tantangan perlambatan ekonomi, seperti diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin melambat. Pada tahun 2019, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,02%. Pada 2020, INDEF memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,8 persen. Kondisi tersebut di atas akan memengaruhi kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan.

“Hal ini terlihat dari elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap angka kemiskinan periode 2010-2014 dibandingkan dengan 2015-2019. Pada periode 2010-2014 di mana pertumbuhan ekonomi nasional pernah mencapai 6 persen, rata-rata elastisitas pertumbuhan ekonomi dalam penurunan kemiskinan sebesar 0,53. Sedangkan pada periode 2015-2019 sebesar 0,42. Semakin rendah elastisitas maka semakin rendah kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan atau dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi semakin tidak responsif/elastis terhadap penurunan angka kemiskinan,” terangnya.

Tantangan kedua the last mile problem/tantangan etape terakhir kemiskinan. Dalam hal ini menurunkan angka kemiskinan dari level 20 persen ke 15% lebih mudah dibandingkan dengan menurunkan angka kemiskinan dari 9 persen ke 8 persen. Pada kemiskinan 20 persen kebijakan padat karya dan penyertaan modal usaha bisa mengentaskan angka kemiskinan, namun tidak pada level satu digit. Hal ini disebabkan perbedaan karakteristik orang-orang yang berada di kelompok dua digit dan satu digit kemiskinan. Pada level double digit, orang miskin yang melekat adalah mereka memiliki level pendidikan yang layak, akses kesehatan bagus, namun belum beruntung dalam akses ekonomi.  Oleh karenanya kebijakan yang bersifat ke ekonomi bisa lebih mudah dalam mengentaskan mereka dari jurang kemiskinan.

“Namun penduduk yang berada pada kemiskinan single digit tidak saja terbatas aksesnya ke ekonomi, tapi juga kesehatan dan pendidikan. Oleh  karena itu, kebijakan penurunan angka single digit perlu langkah yang berbeda dengan kebijakan ketika kemiskinan pada angka level double digit. Kolaborasi program ekonomi, kesehatan, pendidikan dan akses politik diperlukan dalam kemiskinan  single digit,” paparnya.

Tantangan ketiga ketidapastian global dan nasional yang semakin uncertain. Ketidapastian tersebut sering disebut Black Swan Theory yaitu peristiwa langka yang sulit diprediksi, namun saat terjadi akan berdampak besar dan di luar perkiraan umum. “Uncertainty akan berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi nasional dalam rangka mencapai pertumbuhan yang optimal dan inklusif yang berujung pada pengurangan angka kemiskinan,” jelasnya.

Ia menilai peristiwa langka yang sulit diprediksi, namun saat terjadi akan berdampak besar dan di luar perkiraan umum  dalam 1 tahun terakhir antara lain  virus corona, ketegangan geopolitik dunia akibat terbunuhnya Jenderal Iran oleh USA, konflik Laut China Selatan,  Brexit, di dalam negeri ada kasus Jiwasraya, Asabri. Kejadian-kejadian tersebut membuat konsentrasi pemerintah dalam perwujudan pertumbuhan ekonomi terganggu.

Tantangan keempat  korupsi yang membuat alokasi sumber daya ekonomi tidak efisien dan terkonsentrasi hanya pada satu dua kelompok/entitas. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi/pembangunan ekonomi tidak optimal. Analoginya yang seharusnya output ekonomi dapat 10, tapi yang didapatkan hanya 6. Korupsi juga menjadi sumber ketimpangan. Karena akses sumber daya ekonomi tidak merata dan hanya dikuasai oleh kelompok tertentu.

Untuk itu menurutnya pemerintah harus berkolaborasi dengan banyak stakeholder dan multi sektor dalam rangka penurunan angka kemiskinan yang semakin terjal tantangannya. Program Keluarga Harapan (PKH) adalah contoh yang bagus dalam penyelesaian kemiskinan tersebut/kemiskinan yang bersifat multidimensi. Pemanfaatan dana desa juga harus menjadi lebih ke community development, bukan hanya sekadar pembangunan fisik/infrastruktur. Pemberantasan korupsi dan mengembalikan marwah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti sedia kala.