Kecanduan Gadget Picu Depresi

207
Orangtua perlu waspada karena remaja rentan kecanduan internet. Foto: Rayi Gigih/IO

 

Data Internet World Stats, 41% populasi dunia terhubung dengan internet lewat beragam perangkat, laptop/notebook, PC desktop, tablet dan telepon seluler. “Di kawasan ASEAN, Indonesia merupakan pemakai smartphone tertinggi, sebanyak 57,5 juta, diikuti Vietnam dengan 33 juta dan Thailand, 32 juta,” kata dr. Tribowo Tuahta Ginting, Sp.KJ(K), KSM Psikiatri RSUP Persahabatan, dalam acara smart talk bertema “Gadget Addiction” yang digelar di Tangerang Selatan, Sabtu (22/2/2020).

Ditambahkan, data Digital Around The World 2019, 150 juta penduduk Indonesia (56%) telah menggunakan media sosial, didominasi generasi Y serta generasi Z. Paling banyak berada pada rentang usia 18-34 tahun. Pengguna pria vs wanita (rentang usia 18-24 tahun), 18 berbanding 15 persen. Rentang usia 25-34 tahun, persentase pengguna pria vs wanita 19 berbanding 14 persen.

“Orang Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 26 menit menggunakan media sosial, 37 persen memanfaatkannya untuk bekerja. Rata-rata satu pengguna internet di Indonesia memiliki 11 akun berbagai media sosial. Hasil penelitian, terdapat hubungan antara mental emosional dan durasi screen time dalam penggunaan internet lebih 2 jam per hari akan meningkatkan risiko depresi,” katanya.

Dalam jangka panjang, peningkatan screen time juga berkaitan dengan dampak negatif kesehatan seperti peningkatan indeks massa tubuh (IMT) serta penurunan kognisi dan perkembangan bahasa, serta kemampuan akademis. Selain itu, akan timbul gangguan tidur, masalah psikologis, kehilangan konsentrasi, dan mengisolasi diri.

Gejala Psikotik

Istilah lain kecanduan internet adalah “adiksi internet”. Kecanduan internet ditandai penggunaan internet berlebihan akibat kurangnya kemampuan pengendalian diri yang berdampak negatif pada fungsi sehari-hari. Remaja termasuk dalam kelompok usia yang rentan mengalami kecanduan internet.

DR. dr. Kristiana Siste Kurniasanti, Sp.KJ(K). Foto: Esti/IO

“Sebanyak 31,4% remaja mengalami kecanduan internet. Remaja lebih rentan mengalami kecanduan internet karena memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Bagian otaknya yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku juga masih dalam proses perkembangan,” kata DR. dr. Kristiana Siste Kurniasanti, Sp.KJ(K), Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam kesempatan yang sama.

Lalu, kapan seseorang disebut kecanduan internet?

“Seseorang disebut kecanduan internet bila punya pikiran berulang untuk memakai internet (preokupasi), jumlah penggunaan internet yang semakin meningkat, kehilangan kontrol, tetap menggunakan walau mengetahui adanya dampak negatif, menghindar dari lingkungan sosial, berbohong mengenai penggunaan internet, dan merasa tidak nyaman jika tidak menggunakan internet (withdrawal),” jawabnya.

Disebutkan, kecanduan internet sama buruknya dengan kecanduan pornografi atau judi karena bisa memicu gejala psikotik, seperti keinginan bunuh diri. Karena itu, dalam menerapi mereka yang telah mengalami adiksi gadget, baik dr. Tribowo maupun dr. Kristiana mengimbau orangtua berperan aktif dalam encourage other interests and activities that do not involve the internet, set clear limits on time spent online, and talk to them about stressor, depression or anxiety.

Cegah adiksi internet dengan deteksi dini, mengisi kuesioner diagnostic adiksi internet (KDAI), www.kdai-online.id. Sebagai langkah awal, dr. Kristiana menekankan pentingnya membawa pasien ke dokter. “Segera hubungi layanan kesehatan. Dari situ dokter akan memutuskan pasien perlu obat atau tidak. Biasanya detoks dua minggu saja, artinya pasien dijauhkan dari smartphone-nya, hasilnya sudah akan terlihat,” katanya. (est)