Kepercayaan Publik Merosot, KPU Pastikan Pilkada 2020 Independen

96

Sironline.id,  Jakarta – Kasus dugaan korupsi yang menyeret eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan berdampak besar kepada tingkat kepercayaan publik kepada lembaga penyelenggara pemilu. Ketua KPU Arief Budiman mengakui bahwa survei tentang tingkat kepercayaan publik kepada KPU menurun dari tahun-tahun sebelumnya.

Menurutnya persentase itu menurun akibat dari peristiwa penangkapan OTT oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan pada awal Januari silam.

“Kalau dulu kepercayaannya itu selalu di atas 80 persen. Yang terakhir saya baca di beberapa tempat itu menurun, tapi masih di atas 70 persen,” kata Arief Budiman saat ditemui di kantornya, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/02/2020).

Meski demikian, Arief menegaskan bahwa kejadian yang menimpa rekanannya itu sama sekali tidak memengaruhi kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh KPU. Ia memastikan kebijakan masih sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ia juga terus mengingatkan kepada seluruh komponen penyelenggara Pemilu yang berada di bagian provinsi, kabupaten dan kota untuk menjaga terus kepercayaan publik dengan menjalankan kebijakan sesuai aturan.

“Kemandirian itu ditunjukan ketika KPU membuat kebijakan, ketika membuat keputusan, itu dilakukan secara mandiri, tidak berdasarkan pesanan dari pihak lain, tidak berdasarkan tekanan pihak lain, iming-iming dari pihak lain. Artinya kebijakan yang sudah dibuat oleh KPU itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan,” jelasnya.

Adapun untuk terus memupuk integritas di seluruh jajaran KPU, Arief telah melakukan sosialisasi dengan pengurusnya, baik di tingkat pusat maupun daerah. “Kami sudah melakukan itu dengan cara membuat pertemuan nasional kemarin, seluruh ketua, anggota, sekretaris KPU provinsi kita undang,” terangnya.

Ia juga mengingatkan kepada penyelenggara pemilu tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk tidak membuat kebijakan sendiri. Ia meminta para penyelenggara pemilu di daerah membuat keputusan secara bersama berdasarkan pleno.

Selain itu, Arief juga meminta KPU daerah untuk tetap profesional dan menjaga integritas mereka dengan cara mematuhi standar yang sudah ditentukan sesuai undang-undang yang berlaku. “Ini yang penting bekerjalah dengan penuh integritas. Benar dibilang benar, salah dibilang salah. Harus dikerjakan sesuai aturannya,” tutup Arief.

Beberapa hal yang disampaikannya pada saat pertemuan itu adalah, bekerja secara transparan dengan membuka akses seluas-luasnya kepada publik. Kedua, bekerja secara profesional, dalam arti memahami secara utuh penyelenggaran pemilu, khususnya pemilu kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 yang akan dilangsungkan pada 23 September di 270 daerah. Terakhir, memastikan pekerjaan yang dilakukan tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebelumnya Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, kasus yang menyeret Wahyu itu akan berdampak pada turunnya kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu itu. Karena itu, ICW menilai KPU segera melakukan sejumlah langkah perbaikan internal agar praktek yang sama tidak berulang kembali.

Salah satu caranya KPU mesti bekerja sama dengan KPK untuk membangun WBS (whistleblowers system) pada internal KPU hingga jajaran KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. “Langkah ini bisa ditempuh sebagai upaya internal kontrol yang bertujuan sebagai langkah pencegahan,” ujar Donal.

Senada dengan Donal, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi  (Perludem) Titi Anggraini menilai, momentum Pilkada serentak 2020 mestinya bisa dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum ( KPU) untuk mengembalikan kepercayaan publik.

“Adanya Pilkada serentak 2020 merupakan keuntungan bagi KPU untuk menjadi instrumen yang digunakan KPU untuk merebut kembali kepercayaan publik pada lembaga ini setelah serangan berat akibat OTT terhadap salah satu komisionernya,” katanya.

Lebih lanjut Titi mengatakan untuk mengembalikan kepercayaan publik itu, seluruh jajaran KPU harus menunjukkan kinerja dan prestasi terbaik mereka. Harus ada evaluasi menyeluruh atas sistem integritas yang ada di KPU, dan memastikan supaya pengawasan internal dalam mencegah pelanggaran dan praktik kecurangan tidak terjadi.

KPU juga diharapkan untuk bekerja sama dengan KPK dan instansi terkait yang relevan, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman serta kelompok masyarakat antikorupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).

“Dari hasil evaluasi bersama ini mestinya bisa didapat skema yang lebih efektif untuk mencegah terjadinya kecurangan dan praktik korupsi di jajaran KPU,” ujarnya.

Berdasarkan hasil survei SMRC pada Mei 2017, di saat KPU dan Bawaslu periode lama pensiun 14 April dan periode baru dilantik 17 April, tingkat kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu itu mencapai 80 persen. Namun jika merujuk survei LSI dan ICW, Desember 2018, kepercayaan publik di bawah 70 persen, Bawaslu 69 (persen), KPU 68 (persen), turun 10 persen. D. Ramdani