RUU Cipta Lapangan Kerja Jangan Korbankan Nasib Rakyat

27

 

sironline.id, Jakarta – Mirah Sumirat, SE, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) meminta Presiden Joko Widodo untuk bersabar, tidak memaksakan diri dan terburu-buru dalam menyelesaikan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja, karena akan berdampak sangat besar bagi nasib masa depan rakyat Indonesia. Saat ini biaya kebutuhan hidup sangat tinggi, di saat yang sama upah pekerja juga terus ditekan melalui Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2015. Minimnya jaminan kepastian kerja dan minimnya jaminan sosial bagi rakyat juga harus menjadi pertimbangan Pmerintah. Jangan hanya atas nama investasi kemudian nasib rakyat diabaikan.

Mirah juga menilai bahwa Omnibus Law ini ibarat sebagai “proyek ambisius” yang dikemas dengan cara SKS atau “sistem kebut semalam”. Bayangkan saja 81 Undang Undang yang akan terdampak, dengan ribuan jumlah pasal, yang semuanya mengatur hajat hidup rakyat, “dipaksakan” untuk selesai dalam tempo 100 hari kerja. Mirah khawatir, karena dilakukan dengan terburu-buru, Omnibus Law justru akan menghilangkan regulasi yang sebenarnya sudah baik.

Terkait penolakan serikat pekerja terhadap Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), Mirah Sumirat menegaskan posisi ASPEK Indonesia, yang akan bersama dengan seluruh serikat pekerja Indonesia menolak Omnibus Law RUU Cilaka ini, jika isinya lebih buruk dibanding UU yang ada sekarang. Indonesia saat ini memiliki 3 Undang Undang di bidang ketenagakerjaan, yaitu:

1. UU RI No. 13 Thn 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

2. UU RI No. 21 Thn 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU SP/SB”).

3. UU RI No. 2 Thn 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).

“Ukurannya 3 UU itu saja. Jika isi RUU Cilaka justru mengurangi atau malah menghilangkan ketentuan yang sudah baik diatur dalam 3 UU itu, maka bisa dipastikan serikat pekerja pasti akan melakukan penolakan,” jelasnya.

Salah satu yang menjadi sorotan ASPEK Indonesia adalah terkait dengan paparan dari Kementerian Perekonomian, dimana jelas terlihat ada keinginan Pemerintah untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran UU. Ini adalah langkah mundur dalam upaya penegakan hukum dan memberikan keadilan bagi rakyat, tegas Mirah.

Saat ini terdapat dua macam sanksi yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan, yakni sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan dapat berbentuk teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pencabutan ijin. Sedangkan Sanksi Pidana yang diberikan bermacam-macam, yakni denda, kurungan, dan penjara.

Mirah memberi contoh beberapa sanksi pidana yang saat ini ada dalam UU Ketenagakerjaan, yang sesungguhnya sudah cukup baik, karena dapat membuat pengusaha jera jika bertindak semena-mena kepada pekerjanya, antara lain; pengusaha yang mempekerjakan atau melibatkan anak dalam pekerjaan dikenai sanksi pidana penjara 2-5 tahun dan/atau denda Rp200-500 juta. Pengusaha yang tidak mengikutsertakan karyawan perusahaannya di dalam program pensiun dikenai sanksi pidana penjara 1-5 tahun dan/atau denda Rp100-500 juta. Pengusaha yang tidak memberikan kesempatan ibadah bagi pekerja dikenai sanksi pidana penjara 1-4 tahun dan/atau denda Rp100-400 juta. Sanksi yang sama juga dikenakan kepada pengusaha yang tidak memberikan istirahat yang berhak bagi pekerja yang ingin melahirkan, yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, termasuk yang menghalangi hak mogok kerja pekerja. Sanksi pidana kurungan satu sampai dua belas bulan dan/atau denda Rp 10 juta sampai Rp 100 juta juga dikenai kepada pengusaha yang tidak membayar upah lembur sesuai ketentuan.

Mirah Sumirat berharap, Presiden Joko Widodo tidak mengorbankan hak rakyat untuk dapat sejahtera dan mendapat perlakuan yang adil dari Negara, hanya karena kepentingan pengusaha dan korporasi yang semakin serakah. Mirah juga mengingatkan DPR RI untuk tidak lupa bahwa anggota DPR adalah wakil rakyat yang harus memperjuangkan hak kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat, serta tidak hanya menjadi “stempel” dari keinginan Pemerintah.