Omnibus Law Harus Menjadi Momentum untuk Memperkuat UMKM

127

sironline.id, Jakarta – Pemerintah pada tahun ini sedang mengupayakan terobosan baru dalam perundang-undangan yaitu pada UU Cipta lapangan kerja dan UU pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang akan tertuang dalam Omnibus Law. Aturan ini merupakan perwujudan dari salah satu prioritas Presiden pada priode kedua pemerintahannya. Konsekuensinya pemerintah wajib menghapus atau merevisi undang-undang terkait yang tidak sejalan meski jumlahnya tidaklah sedikit.

Tidak hanya itu, pemerintah juga akan menghadapi tantangan era bonus demografi yang akan meningkatkan kebutuhan akan lapangan pekerjaan. UMKM bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk masalah itu. Di samping itu, pemberdayaan UMKM yang merupakan salah satu prioritas Presiden di priode kedua ini merupakan salah satu pilar penting untuk perekonomian di Indonesia. Berdasarkan Data Kementerian Koperasi dan UMKM, 99% dari usaha yang ada di Indonesia adalah UMKM dan menyerap 97% tenaga kerja.

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya  mengatakan, Omnibus Law harus menjadi momentum untuk memperkuat UMKM yang sudah menjadi buffer ekonomi Indonesia ketika krisis 98 dan subprime mortgage 2009. Jangan sampai UMKM dilupakan apalagi tergilas dalam upaya transformasi ekonomi indonesia besar-besaran melalui Omnibus Law.

“Semangat melakukan transformasi ekonomi dengan omnibus law hendaknya tidak dimaknai hanya mengundang dan memberi jalan tol bagi pengusaha besar (lokal dan global). Menguatnya kinerja UMKM perlu menjadi salah satu indikator keberhasilan transformasi ekonomi,” jelasnya di acara diskusi online INDEF di Jakarta, Rabu, 15 Januari 2019.

Ia menilai dari 11 cluster di UU Omnibus Law, hanya satu yang fokus ke UMKM padahal sebagai jenis usaha yang menyerap tenaga kerja terbesar seharusnya Omnibus Law menjiwai semua cluster. Apalagi salah satu hambatan terbesar UMKM adalah perijinan yang memakan biaya dan waktu serta prosedur komplek.  “Apabila perijinan dipermudah dan dipermurah (apalagi kalau bisa online dan kurang dari seminggu) maka UMKM dan koperasi akan  lebih banyak yang punya badan hukum sehingga bisa mengakses keuangan formal serta program-program pemerintah,” jelasnya.

Langkah selanjutnya adalah pendataan kondisi dan potensi UMKM disertai pendampingan continue sehingga UMKM bisa naik kelas. Dana bantuan dan institusi analysis kelayakan kredit juga perlu dialokasikan dalam omnibus law mengingat selama ini UMKM sulit mendapat kredit karena lembaga keuangan sulit mengakses kondisi dan kesehatan keuangannya.

Peneliti INDEF Mirah Midadan Fahmid menambahkan UMKM belum menjadi prioritas penting jika Kementerian Koperasi dan UKM masih belum diberikan kewenangan yang lebih besar daripada saat ini dan dianggap sebagai second class atau bahkan third class ministry. Di ASEAN, Malaysia menjadi salah satu contoh kesuksesan UMKM yang terus besar, naik kelas dan terkoneksi secara global. Malaysia menggunakan badan khusus pengembangan UMKM yaitu Small & Medium Enterprises (SME) Corporation Malaysia di bawah Kementerian Pengembangan Wirausaha. SME Corporation Malaysia berperan selayaknya pool data bagi (calon) pengusaha yang ingin mengembangkan UMKM pada berbagai sektor yang kemudian akan diberikan arahan, pendampingan, hingga monitoring dan evaluasi (monev) progress UMKM dalam perjalanannya.

“Berbeda halnya dengan Indonesia yang berjalan secara parsial sehingga tidak ada kesatuan visi dalam pengembangan UMKM. Jika ada kesatuan visi, misalnya pengembangan UMKM bagi industri manufaktur, maka hal ini dapat mengarahkan seluruh Kementerian/Lembaga dan stakeholders lainnya untuk bekerja sama mencapai visi tersebut,” paparnya.

Menurut Mirah Omnibus Law juga harus melakukan reklasifikasi UMKM yang sudah usang. Klasifikasi UMKM sesuai UU No. 20 Tahun 2008 menggunakan dua indikator utama yakni kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. Klasifikasi lainnya yaitu Industri Kecil Menengah (IKM) melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 64 Tahun 2016 menggunakan tenaga kerja dan nilai investasi. Klasifikasi UMKM saat ini dinilai usang karena tidak sesuai dengan standar internasional yang diterapkan di beberapa negara.

“Baik UMKM dan IKM seharusnya menjadi satu klasifikasi yang sama. Ini menandakan bahwa sebetulnya sejak pembagian klasifikasinya saja kita masih belum beres dan tidak terintegrasi. Seharusnya untuk mengukur skala UMKM berdasarkan jumlah pekerja dan aset tetap, lalu dijabarkan lebih lanjut ke beberapa sektor. Misalnya, klasifikasi sektor manufaktur berbeda dengan sektor jasa dalam segi jumlah pekerja. Sektor manufaktur dengan tenaga kerja besar bisa jadi masih masuk klasifikasi Usaha Kecil. Berbeda dengan sektor jasa dengan tenaga kerja yang besar sudah pasti masuk ke klasifikasi Usaha Sedang hingga Besar,” jelasnya.

Hal ini penting karena jika tidak mendefinisikan dengan tepat, maka pemberian insentif menjadi tidak tepat sasaran. Perusahaan yang seharusnya masih masuk ke dalam Usaha Menengah, justru masuk ke Usaha Besar. Padahal dari segi kemampuan belum mencukupi untuk bergerak lebih cepat dan insentif yang diberikan menjadi berkurang.

Selain reklasifikasi UMKM, perlu upaya mendorong UMKM agar dapat masuk ke dalam pasar internasional, sehingga UMKM dapat berkolaborasi dan menjual produk di negara lain.  “Yang termudah adalah membuka investasi UMKM. Dengan masuknya UMKM dari luar negeri yang bermitra dengan UMKM dalam negeri maka kapasitas UMKM dalam negeri akan meningkat. Tidak hanya itu, akses terhadap pasar luar juga akan terbuka karena kerjasama antar UMKM lintas negara mulai terjalin. Tapi, yang perlu kita ingat dan waspadai adalah bagaimana kita  melindungi UMKM dalam negeri agar tidak tergerus oleh UMKM luar negeri. Kita juga harus terus melindungi SDM yang aktif di UMKM agar tidak dibajak oleh para investor atau pengusaha kelas Menengah dan Besar. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan daya saing serta kualitas dan kemampuan keahlian SDM kita yang bergerak di UMKM,” paparnya.