Pemerintah Harus Jaga Sektor Konsumsi

60

sironline.id, Jakarta – Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju semakin melesu bahkan diproyeksikan akan berada di bawah 2 persen tahun 2020, sementara untuk negara berkembang juga terpangkas ke 3,9 persen di 2019 setelah pada 2018 mampu tumbuh 4,5 persen. Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti  mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 akan relatif stabil karena komponen yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan ekspor dan impor. Rasio ekspor- impor kita kecil hanya berkisar 39,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara negara-negara lain seperti Singapura, Thailand dan Malaysia cukup besar rasio ekspor-impornya.

“Komponen pertumbuhan ekonomi yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil adalah konsumsi yang rasionya mencapai 56 persen terhadap PDB. Jadi tahun 2020 kalau pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi relatif stabil sekitar 5 persen maka jangan ganggu konsumsi sebagai komponen utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia,” jelasnya di acara Diskusi Publik bertema Refleksi Akhir Tahun: Ekonom Perempuan Mewaspadai Resesi Ekonomi Global di Jakarta, Jumat, 20 Desember 2019.

Ia mengatakan ekspor dan impor bukan merupakan pilar utama bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Industri kita sekarang masih terpuruk sehingga ekspor melemah. Meskipun ekspor impor tidak menopang pertumbuhan ekonomi secara dominan, tetapi ekspor impor kita mengalami fluktuasi apalagi kita belum bisa mengambil peluang seperti Vietnam yang bisa mengambil peluang ekspor ke Amerika. Defisit transaksi berjalan diprediksi akan menjadi – 3,03% karena kita selalu dibanjiri impor atau disebut tsunami impor. Meskipun Menteri Keuangan sudah mengeluarkan safeguard tapi safeguard yang diberikan belum menopang. Sebagai contoh baja merupakan mother of industries, setiap negara ingin punya industry baja karena bisa lebih mudah dalam melakukan pembangunan, tetapi ternyata konsumsi baja kita sekitar 11 sampai 12 juta ton, sementara produksi baja kita hanya 4 sampai 5 juta ton. Perlu penyelamatan industri baja secara serius oleh pemerintah. Peraturan Menteri Perdagangan No. 110 tahun 2018 tidak efektif untuk membendung impor baja.  “Begitu juga dengan impor buah-buahan yang mencapai USD 118 juta  dan sayuran mencapai USD 57,9 juta atau senilai Rp 2,4 triliun pada Agustus 2019,” tambahnya.

Pariwisata Indonesia dari tahun ke tahun juga tidak tumbuh secara signifikan. Jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia tahun 2015 sebanyak 10,4 juta, tahun 2016 sebanyak 11,5 juta, tahun 2017 sebanyak 14 juta dan tahun 2018 sebanyak 15,8 juta. Masalah pariwisata kita adalah transportasi dan tidak ada hub atau connecting flight. Selain itu kurangnya atraksi-atraksi wisata di daerah-daerah. Hal-hal seperti ini yang membuat pariwisata kita tidak tumbuh signifikan.

Terkait inflasi masih relatif stabil di angka 2,37 persen. Ia menilai tahun depan kalau misalnya ada kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan meningkatkan inflasi. Nilai tukar sekarang juga relatif bagus di kisaran Rp 13.800 per USD.  Namun nilai tukar  bisa mengalami apresiasi karena ada portfolio investment yang masuk ke Indonesia. Portfolio Investment yang masuk ke Indonesia itu lebih banyak ditaruh di saham-saham BUMN tetapi portfolio investment itu bersifat jangka pendek, kalau tidak hati hati investor bisa melarikan dananya keluar negeri.

“Jangan sampai kondisi Indonesia seperti tahun 2018 kuartal I dimana cadangan devisa kita terkuras habis untuk menstabilkan nilai tukar dan pembayaran utang luar negeri. Kelompok Badan Usaha Milik Negara (BUMN) non bank mendominasi utang luar negeri. Nilai tukar menguat karena portfolio investmentnya ditaruh di saham-saham BUMN,” jelasnya.

Sementara itu ekonom senior INDEF Aviliani memprediksi pada 2020 laju kredit masih lesu di level single digit atau di bawah 10 persen.  Fenomena penurunan suku bunga acuan tidak menjamin meningkatnya distribusi kredit produktif. Laju pertumbuhan kredit tak terlampau bergerak membaik meski Bank Indonesia terus-terusan menurunkan suku bunga acuan atau BI 7 Day Repo rate (DRR) sebanyak empat kali dalam rentang Juli hingga Oktober 2019.

Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi kredit lesu adalah tingginya Loan to Deposit Ratio atau LDR perbankan. Performa LDR sejak 2018 terus melonjak. Bahkan angka itu mencapai 94,3 persen pada kuartal III 2019. Lantaran tingginya LDR, perbankan cenderung selektif dalam memberikan kredit.

Penyebab lain adalah pertumbuhan dana pihak ketiga atau DPK perbankan yang stagnan. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya penerbitan obligasi pemerintah yang jor-joran sepanjang 2019. Penerbitan obligasi dengan bunga tinggi dari pemerintah menyebabkan aliran dana masuk ke perbankan melambat.

Dalam posisi ini, ia menilai bank mau tidak mau akan mengambil aksi mempertahankan suku bunga deposito tinggi untuk mendorong masuknya DPK. Namun, tingginya suku bunga deposito yang tinggi akan membuat suku bunga kredit sulit cair dalam waktu dekat.

Ia menambahkan perbankan akan selektif memberikan kredit karena ada potensi kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). Sejak awal 2019, NPL memang tercatat naik meski angkanya masih di bawah 5 persen. Meski begitu, bank mesti waspada menyalurkan kredit.  Perbankan juga dinilai akan menghadapi kondisi sulit karena dihadapkan dengan pesaing financial technology (fintech). Ia menyarankan beberapa solusi untuk meningkatkan kredit perbankan. Misalnya perlu ada stimulus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap sektor-sektor produktif, termasuk mendorong penyaluran kredit usaha rakyat atau KUR.