PP Nomor 80 Tahun 2019 Dapat Menghambat UMKM Naik Kelas

459

sironline.id, Jakarta – Transaksi perdagangan melalui elektronik (online) makin banyak dibandingkan offline karena konsumen dimanjakan dengan kemudahan yang diberikan. Konsumen dapat membeli barang kebutuhannya dengan harga yang paling murah hanya dengan duduk manis dan “scroll” melalui gadgetnya (handphonenya/ tab dan lainnya).

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan jika dilihat dari peranannya terhadap peningkatan kesempatan kerja, transaksi perdagangan lewat sistem elektronik akan membuka kesempatan kerja di sektor informal lebih banyak.  Digital economy mempekerjakan sebagian besar wanita dan masyarakat Indonesia bagian timur. “Pada tahun 2018, sektor transportasi meningkatkan kesempatan kerja (employment) sebesar 17%. Kontribusi digital economy dalam sektor perdagangan, restoran dan akomodasi sebesar 4,96%. Total kontribusi digital ekonomi terhadap PDB Indonesia  tahun2018 adalah Rp 814 trilliun (USD 56.4 billion) atau 5.5% dari PDB. Digital economy juga meningkatkan nilai tambah manufaktur sebesar Rp 100 trlliun,” jelasnya di acara Diskusi Online INDEF tentang Pemberlakuan PP Nomor 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), Senin (9/12).

Saat ini produk lokal yang diperjualbelikan dalam perdagangan elektronik (e-commerce) baru sebesar 25% dari total nilai transaksi. Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang ditandatangani pada 20 November 2019. Ia menilai ada beberapa alasan mengapa pemerintah meregulasi hal ini, antara lain minat masyarakat terhadap  online shopping besar, transaksi perdagangan via online menawarkan kemudahan, dan konsumen pun bisa memilih barang yang sesuai dengan kebutuhannya dengan harga paling murah.                Ekosistem keuangan digital, berbagai system pembayaran juga sudah ditawarkan dalam bentuk digital finance, tanpa kartu ATM, kartu kredit masyarakat bisa melakukan transaksi. Alasan berikutnya adalah inovasi yang bertanggung jawab, inovasi financial technology tetap harus dipertanggungjawabkan, aman, perlindungan konsumen, dan well-managed resiko. Selain itu untuk mencegah hal negatif terkait dengan digital economy di era disrupsi.

“Digital economy memang perlu diregulasi karena selama ini database tentang pelaku bisnis dalam perdagangan elektronik sulit diperoleh baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Tidak ada database berupa identifikasi pelaku bisnis, produk yang diperjualbelikan, segmentasi pasar, volume dan nilai transaksi perdagangan. Perdagangan elektronik nampak seperti bola liar, hanya penyedia platform saja yang mengetahui detail berapa besar kue digital economy. Selama ini mereka belum mau berbagi data dengan pemerintah karena masalah trust dan takut kena pajak,” jelasnya.

Terbitnya PP Nomor 80 Tahun 2019 membuat pelaku bisnis dalam perdagangan elektronik harus berbadan hukum dan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). “Hal ini akan mendorong mereka  beralih menggunakan media sosial, maka akan lebih sulit lagi pemerintah untuk mengidentifikasi para pelaku bisnis dalam perdagangan elektronik dan seberapa besar kuenya,” ujarnya.

Seperti halnya pemerintah Indonesia yang meregulasi transaksi perdagangan elektornik, Pemerintah Malaysia pun akan mengenakan 6% pajak digital atas layanan digital untuk penjualan dan service tax legislation. Kebijakan di Malaysia ini dimulai pada 1 Januari 2020. Tetapi dampaknya masih akan kita lihat setelah penerapan digital tax ini.

Peneliti INDEF Ariyo Dharma Pahla Irhamna  menambahkan bahwa peraturan ini mewajibkan pelaku usaha wajib untuk punya izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Mengenai hal tersebut pemerintah perlu segera mengeluarkan peraturan teknis yang membahas tata cara bagaimana mendapatkan izin. Ia meragukan poin tersebut dapat efektif sebab perdagangan dengan sistem elektronik sudah berlangsung secara masif, sehingga pemerintah akan kesulitan untuk mengatur proses perizinannya.

Peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa pelaku usaha luar negeri yang secara aktif berjualan secara elektronik kepada konsumen di Indonesia, serta memenuhi kriteria (a.jumlah transaksi; b.nilai transaksi; c. jumlah paket pengiriman; dan/atau; d.Jumlah traffic atau pengakses.), dianggap telah memenuhi kehadiran secara fisik dan melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. Ia menilai poin ini bisa menjadi bumerang sebab nilai transaksi perdagangan memiliki tren yang meningkat secara signifikan, sehingga metode penentuan kriteria tersebut akan menjadi PR besar. Apakah menggunakan nilai saat ini atau nilai yang akan datang (proyeksi).

“Di sisi lain, pelaku usaha yang memenuhi kriteria tersebut wajib menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia yang dapat bertindak sebagai dan atas nama pelaku usaha luar negeri tersebut. Namun sayangnya tidak dijelaskan bentuk badan usahanya. Saran saya, perwakilannya harus berbentuk badan usaha yang melibatkan pelaku usaha lokal di kepemilikan saham. Namun besaran persentasenya perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi,” tambahnya.

Peraturan ini juga mewajibkan pelaku usaha perdagangan menggunakan sistem elektronik untuk memiliki izin. Namun hal itu dikecualikan kepada penyelenggara perantara. “Poin ini sangat disayangkan sebab hanya menyasar merchant, bukan penyelenggara ecommerce. Sedangkan mayoritas merchant lokal merupakan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), sehingga peraturan ini justru menghambat UMKM untuk naik kelas,” jelasnya.

Peraturan ini juga mengatur sistem pembayaran. Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pembayaran melalui Sistem Elektronik, PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dapat bekerjasama dengan penyelenggara jasa sistem pembayaran berdasarkan kerja sama. Namun sayangnya kerjasama tersebut harus dilaporkan kepada Menteri, padahal mengenai sistem pembayaran kita sudah memiliki Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang dibangun oleh Bank Indonesia. Tentu tidak tepat jika dilaporkan kepada Menteri Perdagangan.