Penyelenggara Pemilu Diminta Lakukan Terobosan Demi Demokrasi yang Subtantif

63

 

Sistem penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) yang kembali jadi perbincangan. Pasalnya pemerintah, kementrian dan DPR tengah mengkaji kembali sistem Pemilu. Kepala DKPP, Harjono dalam paparannya menyampaikan, ada beberapa jenis pelanggaran yang mendominasi pada proses penyelenggaraan pemilu yang telah dilaksanakan, di antaranya yaitu terjadinya pelanggaran hukum (34,66 persen), manipulasi suara (24,42 persen), kelalaian (7,3 persen), perlakuan tidak adil (6 persen), pelanggarann hak pilih (6 persen), penyalahgunaan kekuasaan (6 persen), dan konflik kepentingan (5,3 persen).

Terkait hal tersebut, pada Komisi II DPR RI meminta lembaga penyelenggara pemilu seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bukan sekedar pelaksana undang-undang (UU). Lembaga penyelenggara pemilu tersebut harus mulai berpikir tentang bagaimana mendorong demokrasi yang lebih substantif, dan tidak sekedar prosedural. “Demokrasi substantif ini telah digambarkan KPU dengan pendekatan indikator demokrasi kita, tetapi dalam prakteknya kita mengalami banyak hambatan dari prosedur-prosedur yang telah disusun dan dilaksanakan dilapangan,” ujar Kamrussamad dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan KPU, Bawaslu, dan DKPP membahas rencana strategis dari ketiga lembaga penyelenggara pemilu tersebut, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta (Rabu 20/11/2019).

Karena itu, lanjutnya, perlu ada kebijakan tersendiri bagi KPU, Bawaslu dan DKPP, yaitu terhadap sejumlah provinsi yang berbasis kepulauan. “Perlu ada manajemen khusus, terkait dengan manajemen sosialisasi untuk meningkatkan partisipasi pemilih, dandiperlukan juga  adanya manajemen distribusi logistik,” tutur politisi Fraksi Partai Gerindra itu.

Untuk Bawaslu, Kamrussamad menyampaikan, perlu ada rancangan khusus untuk pengawasan. Tidak menutup kemungkinan rekapitulasi hasil Pilkada ataupun Pilpres yang jarak antara kepulauannya cukup jauh dan menggunakan perahu nelayan yang disewa untuk mengangkutnya itu berpotensi terjadinya penyalahgunaan dari hasil rekapitulasi pemilihan tersebut di atas perahu. “Sehingga perlu perencanaan yang lebih matang dari sekarang yang melibatkan provinsi-provinsi diwilayah kepulauan,” ucapnya.

Ia mengatakan, dalam pemilu yang telah dilaksanakan, terlihat peranan Polri yang sangat besar di lapangan. “Bisa tidak, DKPP berpikir ada terobosan hukum. Karena Polri mendapatkan anggaran dari penyelenggara (KPU), dimasukan pada terobosan hukum yakni dalam usulan revisi undang-undang. Hal ini karena sangat besar peranannya dalam menurunkan indeks demokrasi kita,” ungkapnya.

Bagaimana kita mau membangun netralitas penyelenggara kalau ada instrumen lain yang jauh lebih brutal dari pada money politic itu sendiri, karena menggunakan kekuasaan dan fasilitas untuk menekan kekuasaan didaerah, tandasnya. “Perlu ada para pemikir dan ahli hukum di DKPP dan Bawaslu yang bisa melakukan kajian terobosan hukum yang baik. Siapapun instrumen dan kelembagaan negara yang mendapatkan anggaran dari penyelenggara pemilu harus bisa dikontrol dan diawasi. Dengan begitu kita bisa menjaga kualitas demokrasi kita.