INDEF: Harus Ada Kebijakan Transparansi Kuota Impor

55

sironline.id, Jakarta – Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia sempat memasuki era kejayaan di tahun 1980-an. Pada 2007 perdagangan industri ini mencatatkan surplus hingga mencapai USD7,8 miliar Kondisi itu berbalik di periode 2008 hingga tahun 2018 dan bisa berlanjut hingga beberapa tahun mendatang. Pada tahun 2008, surplus industri ini hanya mencatatkan USD5,04 miliar dan pada 2018 menurun drastis menjadi USD3,2 miliar. Penyebab utama adalah gempuran tekstil impor yang berasal terutama dari Tiongkok.

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64/M-DAG/PER/8/2017 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 85/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil berdampak pada semakin derasnya laju impor produk TPT. Pemerintah berencana untuk merevisi dan menggantikannya dengan Permendag Nomor 77/2019. Namun demikian, revisi regulasi tersebut masih menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku industri seperti belum transparannya kuota impor hingga belum terlihat upaya untuk membatasi Pengusaha Dalam Pusat Logistik Berikat (PDPLB) untuk memperjualbelikan barang langsung ke pasar domestik.

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil (Ikatsi) Suharno Rusdi mengatakan, revisi Permendag 77/2019 masih dapat memfasilitasi impor tekstil serta belum cukup mendukung industri di dalam negeri. “Ini tidak sejalan dengan semangat substitusi impor. Bisa ada permainan di lapangan dan masih memfasilitasi impor TPT,” katanya di acara Diskusi Publik INDEF bertema Upaya Penyelamatan Industri Tekstil Indonesia di Jakarta, Rabu (30/11).

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menambahkan aturan tersebut belum bisa menjamin bahwa impor produk TPT melalui Pusat Logistik Berikat (PLB) berkurang. Sebab, revisi Permendag masih memperbolehkan impor melalui PLB, kendati saat ini perlu Persetujuan Impor (PI) TPT. “Importir nakal masih bisa melakukan pelanggaran dalam PLB menggunakan Persetujuan Impor TPT,” ujarnya.

Selain itu, Pengusaha Dalam PLB (PDPLB) masih belum diawasi dengan ketat untuk tidak memperjualbelikan barang langsung ke pasar lokal. Juga dengan kuota impor TPT belum diatur agar menjadi lebih transparan. “Jadi harus ada kebijakan transparansi kuota impor. Kalau tidak, bisa saling iri,”katanya.

Muhammad Khayam, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi  dan Tekstil Kementerian Perindustrian menambahkan kontributor ekspor terbesar selalu dari tekstil. Industri ini berkembang sejak 30 tahun lalu dan banyak tersebar di Jawa Barat. “Yang diperlukan adalah investasi dan peningkatan  kapasitas.  Apalagi setelah tekstil ditetapkan sebagai industri 4.0,” jelasnya. (eka)