Golkar: Tak Terima Pelantikan Presiden Jokowi Berarti Anti Demokrasi

24

Sironline.id, Jakarta – Jelang pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 terpilih yang akan digelar Minggu, 20 Oktober 2019. Sejumlah aksi unjuk rasa hingga penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto menjadi perhatian pemerintah untuk mengamankan seremonial lima tahunan tersebut.

Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Ace Hasan Syadzily mengatakan seharusnya pelantikan presiden diwarnai dengan perayaan, bukan aksi unjuk rasa bahkan terorisme. “Kita semua sebagai bangsa Indonesia telah melewati satu fase demokrasi di mana kita telah melakukan proses Pemilu yang berjalan dengan baik dan tak perlu ada yang dikhawatirkan secara politik,” kata Ace dalam diskusi Menakar Situasi Polhukam Menjelang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI yang digelar oleh Indonesian Public Institute (IPI) di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019).

Menurutnya, karena kontestasi pilpres telah usai, sehingga sudah tidak relevan lagi ada riak-riak penolakan terhadap hasil Pilpres dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2019. Sudah seharusnya semua pihak menerima dan menganggap pelantikan 20 Oktober sebagai perayaan kemenangan rakyat. Ia juga menyinggung aksi unjuk rasa beberapa elemen baik elemen kelompok keagamaan, masyarakat, mahasiswa hingga pelajar. Ia menilai bahwa narasi yang sebenarnya dibangun khususnya oleh mahasiswa tidak ada yang menyinggung masalah pelantikan Jokowi, mereka hanya mengritisi tentang persoalan Revisi Undang-undang di DPR. Namun mengapa ada narasi mencuat soal penolakan terhadap pelantikan. “Satu bulan terakhir ini, misalnya demonstrasi oleh mahasiswa, sesungguhnya tidak ada kaitannya langsung dengan pelantikan presiden, tapi orang menghubungkannya,” tambahnya.

Karena itu, Ketua DPP Partai Golkar ini memandang bahwa pihak-pihak yang ingin memperkeruh hasil pilpres 2019 dan mencegah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka mereka adalah kelompok anti demokrasi. “Jadi kalau ada pihak yang mempersoalkan pelantikan presiden, saya berani berkesimpulan bahwa mereka memang orang-orang yang anti demokrasi,” tegasnya.

Terkait penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto, lanjut Ace, dilakukan oleh pihak yang diduga teroris dan ada kaitannya dengan kelompok teroris seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Ia mengindikasikan ada pihak yang menunggangi demokrasi sebagai alat untuk menunjukkan eksistensi mereka. Menurutnya, landscape politik saat ini berbeda dengan sebelumnya. Namun penetrasi yang dilahirkan dari semangat pancasila, mulai dirongrong kelompok penumpang gelap demokrasi. “Memang ada yang belum move on menerima hasil pemilu 2019. Dari Pilpres kemarin masih ada pihak yang mencoba terus mengkapitalisasi isu perlawanan,” ungkap Ace.

Pengamat Politik IPI, Karyono Wibowo mengatakan berbagai peristiwa seperti kerusuhan di Wamena Papua, demonstrasi mahasiswa, dan penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto tidak berkorelasi dengan upaya menggagalkan pelantikan Presiden 20 Oktober 2019 mendatang. Menurutnya sejumlah peristiwa tersebut memiliki agenda dan tujuan berbeda-beda dan berdiri sendiri. “Saya belum melihat adanya indikator kuat untuk menggagalkan pelantikan Presiden Jokowi 20 Oktober. Dan saya tak yakin ada aksi yang bisa menggagalkan pelantikan,” ungkapnya.

Menurut Karyono, ada dua tujuan utama aksi-aksi tersebut dilakukan. Yang pertama adalah mengganggu stabilitas keamanan nasional negara, dan kedua mendeligitimasi pemerintahan Jokowi di periode kedua. Direktur IPI ini mengaku sangat setuju, jika pelantikan Jokowi – KH Maruf Amin harusnya disambut dengan pesta rakyat. Sebab rakyat sudah melakukan proses demokrasi konstitusional dengan baik. Bahkan sudah diputuskan secara final dan mengikat melalui Mahkamah Konstitusi. “Karena itu, siapa pun dan apa pun bentuknya, jika ada kelompok yang ingin menggagalkan pelantikan maka itu tindakan inkonstitusional,” jelas Karyono.

Sementara itu, pengamat intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta, mengatakan menyebut kelompok teroris mengganti pola pergerakan pasca Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan terorisme disahkan. Sejak itu kelompok teror mengandalkan gerakan sel-sel kecil. “Mereka yang sebelumnya bergerak dalam kelompok besar dalam aksi misal di Kampung Melayu, Thamrin, mereka berubah menajadi sel-sel kecil dalam tingkat keluarga atau individu,” katanya.

Pergerakan melalui sel kecil ini sulit dideteksi. Pergerakan keluarga dan individu relatif aman karena mereka tidak menggunakan alat komunikasi, untuk berkoordinasi. Sehingga jauh lebih aman, dan tak menimbulkan kecurigaan. Pergerakan lain yang sulit dideteksi adalah aksi yang dilancarkan secara lone wolf atau perseorangan. Ada pula wolf pack yaitu individu yang bertemu dengan pelaku tunggal lain kemudian membentuk kelompok secara spontan. Pelaku teror, akan terus menyesuaikan dengan perkembangan melakukan penindakan hukum. “Ke depan aksi-aksi ini akan terus berubah beradaptasi dengan sel-sel kecil yakni keluarga dan ini akan sulit untuk terdeteksi. Yang hanya bisa terdeteksi hanya orang terdekatnya,” ucapnya.

Terkait demo mahasiswa, Karyono mengatakan ada cara lain untuk mengamankan acara pelantikan presiden-wakil presiden pada 20 Oktober 2019 selain melarang mahasiswa demo. Aparat seharusnya membiarkan demonstrasi dan memberikan pengamanan seperti biasanya. “Seharusnya ada cara lain yang lebih bijak, Polri kalau mahasiswa mau demo, ya, dikawal saja. Dikawal dengan ketat, diberi pagar betis, dikawal demo seperti biasa begitu,” katanya.

Menurutnya, aparat tak perlu mengkhawatirkan mahasiswa, namun penumpang gelap yang bisa jadi menyusup dalam aksi demonstrasi itu. Ia juga mengerti pada hari itu aparat lebih fokus pada pengamanan presiden ketimbang mengamankan demo. Namun bila aparat tetap melarang unjuk rasa, ia menyarankan agar mereka memperbolehkan mahasiswa demonstrasi setelah pelantikan. Stanislaus Riyanta menilai demonstrasi pun tak relevan bila dilakukan pada acara pelantikan. “Toh kalau kasus RUU dan undang-undang bisa nanti kan. Karena gak ada hubungannya antara pelantikan Jokowi dengan RUU,” ucap dia.

Sebelumnya Pangdam Jaya Mayor Jenderal Eko Margiyono melarang mahasiswa berunjukrasa hingga pelantikan presiden pada 20 Oktober 2019. Pemberitahuan demo mahasiswa ataupun masyarakat, kata dia, tidak akan diproses. Larangan ini berlaku untuk sekitar lingkungan gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta. “Sehingga kalau ada unjuk rasa, bahasanya tidak resmi atau ilegal,” ujar Eko seusai mengikuti rapat koordinasi pengamanan pelantikan presiden bersama pimpinan DPR di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, 14 Oktober 2019.

Guna mengamankan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, sebanyak 30 ribu personel gabungan dari TNI dan Polri akan diturunkan untuk mengamankan pelantikan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. TNI akan menjadi pimpinan operasi pengamanan pada 20 Oktober 2019. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Puan Maharani mengatakan bahwa aparat keamanan segera menyisir ring 1 dan ring 2 supaya pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. D. Ramdani