Biaya Logistik di Indonesia Masih Tinggi

279

Sironline.id, Jakarta – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro menyatakan selain menghadapi masalah regulasi yang rumit, untuk menarik investasi langsung ke dalam negeri, biaya logistik masih menjadi permasalahan utama. “Kalau Anda pengusaha, maka anda harus mempertimbangkan 24%, anda harus membayar untuk biaya logistik,” kata Bambang di Kantor Bappenas, Rabu (9/10/2019).

Ia menilai pembangunan infrastruktur yang sudah terbangun untuk mengurangi biaya logistik belum memberi dampak. Hal ini terlihat dari penurunan biaya logistik yang lamban dan masih pada kisaran 24% dari PDB. Pasalnya, infrastruktur yang terbangun belum terkoneksikan secara baik, misalnya antara kawasan industri dan pelabuhan ataupun bandara. Padahal, stok infrastruktur Indonesia sudah mencapai 43% dari rata-rata 70%.

Biaya logistik di Indonesia masih lebih tinggi dibanding negara Asia Tenggara lain, seperti Vietnam yang berada pada kisaran 20% dari PDB, Thailand 15% dari PDB, atau India yang masih 17% dari PDB. Hal ini menjadi salah satu alasan beralihnya investasi langsung ke Vietnam dibandingkan dengan investasi ke Indonesia.

Bambang pun tidak heran jika peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia kini berada di posisi 46 pada 2018. Meski berhasil naik 17 peringkat dari 63 di 2016, namun Indonesia masih kalah dari Malaysia yang bertengger di peringkat 41, Vietnam 39, Thailand 32, dan Singapura 7. LPI merupakan indeks pembanding sistem logistik secara global yang dibuat oleh Bank Dunia. Tujuannya, untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang logistik serta perdagangan suatu negara.

Untuk menekan biaya logistik, ia menyatakan Indonesia masih membutuhkan pembangunan infrastruktur, pengembangan konektivitas, dan perbaikan jaringan distribusi. Jika upaya tersebut konsisten dilakukan, maka Indonesia bisa memangkas biaya logistik hingga di bawah 20 persen pada 2024. “Yang paling penting 2045 kalau kita sudah menjadi negara maju biaya logistiknya harus di bawah 10 persen,” imbuhnya.

Tak hanya itu, Indonesia juga masih kalah saing dari sisi regulasi perdagangan. Ia menyebut beban biaya bagi eksportir tergolong tinggi lantaran proses perizinan dan regulasi perdagangan yang masih berbelit.

Eksportir di Indonesia membutuhkan waktu kurang lebih hingga 5,4 hari untuk melengkapi dokumen ekspor. Waktu tersebut lebih lama dibandingkan Thailand yang tercatat hanya 2,3 hari, Malaysia 1,6 hari, dan Singapura setengah hari saja.

“Jadi Anda dapat melihat kombinasi antara lebih lama dan lebih mahal. Sesuatu yang tidak menarik pada bisnis di seluruh dunia tapi ini terjadi di Indonesia,” jelasnya.