Pelarangan Ekspor Bijih Nikel Dipercepat 

20

sironline.id, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan peraturan terkait pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah (ore) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Kebijakan tersebut pada dasarnya merupakan wujud pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah mineral melalui hilirisasi.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (NDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, saat ini Indonesia menguasai 27% pasar nikel dunia, baik dalam bentuk produk hulu (bijih nikel sebanyak 50 juta ton/tahun), maupun produk hilir (feronikel, nickel pig iron, nikel matte sebesar 907 ribu ton/tahun).

Ia menilai ada beberapa tantangan dalam hal pelarangan ekspor bijih nikel tahun depan. Seperti terkait regulasi itu sendiri. Kita ketahui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 tahun 2019 adanya percepatan larangan ekspor bijih nikel dimulai 2020. Sementara pada Permen Nomor 25 tahun 2018 ekspor bijih nikel sampai 2022. Dalam PP No. 1 Tahun 2017 juga memuat larangan pelarangan ekspor bijih nikel mulai tahun 2022. “Ini akan menjadi problematika konsistensi pemerintah. Kalau tidak revisi PP-nya atau Permen-nya akan ada celah hukum,” jelasnya  di acara diskusi public INDEF bertema “Moratorium Ekspor Nikel & Hilirisasi Mineral Dalam Negeri” di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Ia mempertanyakan apakah dengan pelarangan ekspor bijih nikel ini akan sebanding dengan nilai tambah yang dihasilkan. Ia juga menilai pelarangan ekspor bijih nikel ini akan berpeluang menimbulkan ekspor ilegal bijih nikel.

Tantangan lain adalah selama ini bijih nikel di dalam negeri sebagian besar diolah dengan teknologi peleburan (smelter) yang menghasilkan produk akhir berupa feronikel dan nickel pig iron serta bahan baku pembuatan stainless steel. Namun belum menghasilkan nikel sulfat untuk bahan baku battery listrik. Selain itu, tantangan dari sisi SDM dimana dari 500 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang masuk program revitalisasi, hanya 10 SMK pertambangan. Dari 709 politeknik yang masuk program revitalisasi, hanya ada 64 politeknik tambang.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, ia menilai perlunya harmonisasi regulasi antara PP No. 1 tahun 2017 dengan Permen ESDM No. 11 tahun 2019 agar terjadi kepastian hukum. Selain itu perlu pengembangan intensif fiskal dan non fiskal bagi industry hilir nikel (battery mobil listrik dan lainnya), membangun keterkaitan hulu dan hilir nikel (mining, extraction, refining, first use, end use). Serta membangun  kemitraan yang adil antara pelaku penambang nikel, penyerap hasil tambang (smelter) serta industry hilir, termasuk penentuan formula harga nikel.

Ia juga menilai perlu pengawasan ketat terhadap kemungkinan adanya ekspor illegal dengan asumsi disparitas harga internasional dan domestik yang tinggi, harmonisasi kebijakan serta program/kegiatan antar kementrian/lembaga dalam menjalankan amanat UU Minerba No. 4 Tahun 2009, dan penyusunan peta jalan pengembangan industry nikel yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan berbagai dimensi dan kepentingan seluruh stakeholder. (eka)