Harry Widjaja : Utamakan Pendidikan Karakter Dibanding Prestasi

371

sironline.id, Jakarta – Harry Widjaja merupakan founder dan CEO menceritakan awal mula terbentuknya Uni Papua. Uni Papua adalah organisasi sepakbola sosial. “Ini organisasi non goverment, organisasi non profit untuk membentuk karakter anak-anak melalui sepakbola,” jelasnya.

Lalu mengapa dinamakan Uni Papua? “Karena sejarahnya dibentuk di Papua. Kita juga ingin memopulerkan nama Papua. Jadi Papua adalah sepakbola, sepakbola adalah Papua dari Indonesia. Kita ingin memperkenalkan nama Papua ke seluruh dunia bahwa anak-anak Papua itu punya talenta di sepakbola,” ujar Harry.

Uni Papua berdiri tahun 2013. Namun telah dirintis dari tahun 2008. “Saya mulai lihat bahwa sepakbola sebagai alat yang sangat baik. Saya mulai bersentuhan langsung dengan pembinaan anak usia dini. Tapi saya lihat sepakbola dari sisi yang lain, sepakbola bukan untuk turnamen dan prestasi, tapi sepakbola digunakan untuk mengantarkan nilai-nilai, membentuk karakter, memodali anak dengan kemampuan untuk menolak pengaruh-pengaruh buruk. Seperti minuman keras yang punya pengaruh kuat bagi anak-anak Papua dan anak-anak Indonesia Timur. Lalu ada penyebaran HIV secara massif, ada masalah-masalah intoleran yang merusak perdamaian. Kita pake bola untuk mengatasi itu. Jadi sepakbola itu sebagai alat mengantar, bukan tujuan untuk sepakbola,” urainya.

Karena sepakbola sebagai alat, ada nilai-nilai utama yang diajarkan di Uni Papua. “Nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, integritas, dan kepedulian. Bola jadi alatnya,” tukas Harry.

BERKEMBANG PESAT

Harry tak menyangka, Uni Papua yang awal berdiri ditujukan untuk anak-anak Papua, kini berkembang ke 50 daerah di Indonesia. “Kami sebenarnya inisiatif hanya di Papua,” kata Harry.

Saat mendirikan Uni Papua tahun 2013 di pulau Biak, berkembang dari 1 cabang menjadi 3 cabang. Seiring berjalannya waktu Uni Papua, tidak hanya berkembang di Papua, tapi di berbagai daerah di Indonesia.

Kini khusus Papua, ada 14 cabang yang berada di Timika, Sorong, Sentani, Jayapura. “Di luar Papua, kita total ada di 14 provinsi, kurang lebih 50 komunitas. Mereka menggunakan nama Uni Papua yang disesuaikan dengan daerah asalnya. Misalnya Uni Papua Aceh, Uni Papua Poso, Uni Papua Salatiga, Uni Papua Bali. Sekarang hampir 2 minggu sekali ada yang minta untuk bergabung,” kata Harry bangga.

Dalam membangun Uni Papua, Harry tidak mengutamakan untuk mengikuti turnamen, tapi lebih pada membangun karakter anak-anak. “Karena kita ini beda dengan pola pembinaan umum. Jadi kita tidak berfokus pada turnamen atau kompetisi. Kita banyak fokus pada pembinaan karakter. Jadi program kita, di setiap latihan, ada nilai-nilai yang kita hantar,” kata Harry.

Anak-anak yang dididik di Uni Papua dari usia 6-23 tahun. Namun difokuskan dari usia 10-18 tahun. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, definisi anak di bawah 18 tahun, masih di bawah perwalian orang tua.

Yang mengajarkan nilai-nilai hidup kepada anak-anak adalah para relawan yang menjadi pelatih di Uni Papua. “Kami ajari para relawan ini yang terpanggil dijadikan pelatih. Mereka boleh siapa saja, yang penting mereka punya keinginan besar untuk urus anak-anak. Jadi kemampuan sepakbola kami akan latih secara periodik. Latihan pertama 5 hari, kami akan kasih sertifikat,” kata Harry.

Hingga saat ini ada lebih dari 3 ribu anak dididik di Uni Papua. “Setiap cabang ada 60-150 orang anak. untuk pelatih ada 40-50 relawan yang full involved,” katanya.

TERCUKUPI

Untuk mengelola 50 cabang yang berada di berbagai daerah, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, Harry bersyukur selalu tercukupi. “Puji Tuhan, 80% dari kantong sendiri,” katanya tertawa.

“Semua tidak digaji, relawan bekerja dengan kerelaan dia sendiri. Beberapa program juga dibantu. Contohnya kita ada program sepakbola antara suku, 50% dana itu dari CSR FIFA. Lalu kalau kita ada program lain, misalnya trauma healingke daerah bencana, kita mencari donatur. Kalau ada eksebisi internasional, kita mencari sponsor,” lanjutnya.

Meski dengan keterbatasan dana, anak-anak yang berprestasi di Uni Papua sering dikirim ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan hingga studi lanjut. “Saya memang paling hobi kirim anak ke luar negeri. Kenapa? Karena anak-anak daerah seharusnya punya hak yang sama. Nah, kita ini jadi jembatan. Kalau mereka ke luar negeri, kita persiapkan dulu supaya kepergian mereka itu punya manfaat. Mereka lebih percaya diri, punya wawasan, punya pengalaman. Ketika mereka pulang, mereka bisa cerita ke anak-anak lain,” ceritanya bersemangat.

Lanjut Harry, setiap ada kesempatan untuk pelatihan atau pun studi, ia biasanya akan mempromosikan anak-anak yang punya karakter baik, atau pun pelatih-pelatih yang berdedikasi dan memiliki loyalitas. “Semua cabang dikasih kesempatan yang sama,” katanya.

Sebagai lembaga yang tidak memiliki donatur tetap, kesulitan keuangan merupakan ‘makanan’ sehari-hari baginya. Modal Harry bertahan hingga kini adalah bersyukur. “Sebenarnya ga terlalu tahan kalau dibanting, sakit juga. Cuma lewati saja, bersyukur aja, masih bisa nikmati kesakitan-kesakitan itu. Kadang-kadang kita pikir kenapa kita buat sakit orang lain, dari situlah saya menemukan, oh dari situlah hidup saya memiliki manfaat untuk orang lain. Semua orang harus sakit untuk orang lain,” ucapnya bijak.

Mimpi Harry untuk Uni Papua adalah membangun akademi sepakbola di Papua. “Saya ingin kalau diberi umur panjang, Uni Papua ingin membangun satu center akademi sepakbola berbasis karakter. Jadi isunya karakter, saya pengenanak-anak Indonesia dapat pendidikan, pembinaan karakter di center ini, mempersiapkan mereka mau jadi profesi apa saja terserah, yang penting kita bekali dengan karakter dan nilai-nilai supaya mereka memang ke depannya dapat meraih mimpi dan cita,” pungkasnya. (des)