Politik Pecah Belah, Satu-satunya Cara Kuasai Indonesia

272
Batara R. Hutagalung penulis buku Indonesia Tidak Pernah Dijajah karya di ruang Kura-kura I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/08/2019). Foto D. Ramdani/Sironline.id

Sironline.id, Jakarta – 17 Agustus 1945 jadi tonggak kemerdekaan Indonesia yang berarti lepas dari penjajahan. Seperti tertulis dalam sejarah, Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun yang dilanjutkan Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun. Dengan kisah penjajahan yang ratusan tahun itu pula membuat stigma rakyat Indonesia bermental inlander (mental kaum terjajah).

Namun cerita sejarah Indonesia pernah dijajah itu coba diluruskan sejawan sejati, Batara R. Hutagalung. Dalam buku Indonesia Tidak Pernah Dijajah, Batara mengulas proses dibalik kemerdekaan yang diakui oleh bangsa Indonesia selama 74 tahun ini.

Ketika banyak ungkapan-ungkapan tentang pelurusan sejarah, sejarawan senior Taufik Abdullah mengatakan bahwa tidak ada yang namanya pelurusan sejarah. Sebab membaca sejarah adalah membaca hasil penafsiran terhadap suatu rangkaian kejadian masa lalu dari seorang penulis. Kita tidak bisa menyaksikan kejadian yang berlangsung, tetapi kita bisa membedakan mengapa suatu peristiwa terjadi.

Maka dari itu pengetahuan mengenai sejarah nasional dan internasional menjadi sangat penting, karena dapat memantapkan dan memperkokoh jiwa nasionalisme untuk membela negara. Akan tetapi, sejarah Indonesia mengalami pengaburan penulisan selama ratusan tahun  oleh para penjajah. Fakta ini juga yang paling menguatkan mengapa Batara berani mengungkapkan kalau Indonesia tidak pernah dijajah.

“Batara  menyuarakan secara kritis sejarah bangsa Indonesia dan menghidupkan kembali sukma nasionalisme yang mulai pudar di kalangan anak bangsa dewasa ini. Dia juga membeberkan fakta-fakta sejarah kolonial Belanda di Indonesia yang terkesan didiamkan selama ini.  Saya berharap seminar-seminar pelurusan sejarah dilakukan secara berkesinambungan guna memahami sejarah seutuhnya,” katanya.

Selain Fadli Zon, dan Taufik Abduah juga hadir Diplomat Prof Makarim Wibisono dan Guru besar Universitas Hasanuddin Makassar Prof Marthen Napang. (D. Ramdani)