Transformasi Hidup Any Kusuma Dewi

711

sironline.id, Jakarta – Mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak dasar setiap anak Indonesia. Hal inilah yang mendasari Any Kusuma Dewi mendirikan yayasan Tri Kusuma Bangsa pada tahun 2012. Lewat yayasan ini, ia membuka kelas -kelas pendidikan di Kota Tua, Jakarata Utara dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Any, sapaan akrabnya bercerita, sebelum mendirikan Tri Kusuma Bangsa, beragam kegiatan kemanusiaan telah dilakukannya. Misalnya mengirim paket obat-obatan saat Tsunami di Aceh. Lalu mengirim Alquran saat gempa di Padang. Tak berhenti di situ, saat 5 ribu rumah yang terendam di Banten, Any membawa bantuan obat-obatan dan sembako sebanyak 2 ribu paket.

Diakui Any, momentum mendirikan yayasan itu datang, setelah dia kembali dari Banten. “Saat di sana, kami sempat menjenguk seorang nenek yang sakit menahun dan tidak bisa bangun. Nenek itu sebatang kara. Di gubuknya itu hanya ada kasur dan meja reot yang di atas ada roti yang sudah jamuran. Saat saya lihat itu, saya nangis. Itu tamparan buat saya. Kayak ada yang ngomong,’ sehari lo abisin berapa banyak uang hanya untuk bersenang-senang’,” kata Any bersemangat.

Fokus Pendidikan Anak

Peristiwa ini senantiasa dikenang Any. Ia pun memutuskan ingin memiliki hidup yang berarti bagi sesama. Melalui Tri Kusuma Bangsa, Any dan para relawan membuka beberapa kelas Pendidikan di Kota Tua.  Kelas Bintang untuk anak-anak usia playgroup dan TK. Mereka diajari membaca, menulis dan berhitung. Lalu Kelas Bulan, untuk anak-anak SD kelas 3 dan 4. Serta Kelas Matahari, untuk SD kelas 5-6. “Untuk anak-anak ini mereka diajari matematika, bahasa inggris dan pengetahuan umum,” ucapnya.

Tak hanya itu, ada juga Kelas Pelangi. Ini merupakan kelas khusus untuk anak-anak difabel.Pola pendidikan yang diberikan agak berbeda dengan kelas umum yang lain. Di sini satu orang murid akan dididik oleh satu orang guru. Dengan begitu, si murid akan mendapatkan perhatian khusus dan perlakuan istimewa sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.

Untuk mendidik di Kelas Pelangi memang dibutuhkan kesabaran ekstra, sebab guru pembimbing harus mengulang-ulang pelajaran yang sama berkali-kali sampai si murid benar-benar mengerti. Belum lagi harus memahami kondisi murid dan kebutuhannya, sehingga dapat memberikan bimbingan sesuai porsi dan kondisi mereka masing-masing.

Saat ini anak-anak yang belajar di Kota Tua, berjuamlah 150 orang. Mereka biasa belajar pada hari Sabtu, dari pukul 3-6 sore. Karena melihat kebutuhan di lapangan, sejak 2 tahun lalu, Any membuka kelas di Taman Ismail Marzuki. Jumlah muridnya baru 30 orang. Mereka beraktivitas belajar di hari Minggu, pukul 9 pagi – 1 siang. Tak hanya belajar, mereka juga disediakan makanan.

Umumnya anak-anak yang belajar di Kota Tua ataupun Taman Ismail Marzuki, adalah anak-anak jalanan, anak duafa dan difabel. Khusus untuk anak jalanan, mereka memiliki pekerjaan sebagai penjual tisu. “Waktu awal-awal, mereka kerja sebagai pengamen dan pengemis, tapi sekarang umumnya penjual tisu,” kata Any.

Diceritakan Any, meski kegiatan belajar di Kota Tua telah berlangsung selama 6 tahun, namun ia masih mengingat tantangan yang dihadapi saat awal-awal memulai proses tersebut. Saat itu, ia mendapat tantangan dari orang tua anak-anak yang belajar serta preman di sekitar lokasi belajar.

“Kalau orang tua mereka itu awalnya complain, karena anak-anak yang seharusnya nyari uang, eh malah belajar. Namun lama kelamaan, orangtuanya malah ingin anaknya belajar. Bahkan kalau ga belajar, mereka lapor ke saya. Saya bersyukur dengan kesadaran para orang tua ini,” jelas Any.

Sementara para preman, saat 2 tahun awal proses belajar berlangsung, setiap Sabtu, ia harus membayar Rp 300 ribu. “Tempat saya berkegiatan itu merupakan parkiran motor. Jadi mereka berhitung penghasilan selama3 jam, jadi saya ganti sejumlah yang biasa mereka terima. Ga Cuma itu, dari tempat kegiatan menuju mobil saya diparkir, biasa saya didatangi 3-4 orang preman. Saya ngasih mereka duit, karena ini untuk keamaan saya juga para voluntir,” sambung Any.

Saat memulai kegiatan ini 6 tahun lalu, berbagai kebutuhan dihandel Any. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sudah ada para donatur yang membantunya. “Makin ke sini ada donatur, umumnya teman-teman dekat. Alhamdulillah sudah ada yang support. Kayak makanan di Kota Tua, saya butuh setiap Sabtu itu 150 dus dan itu selalu ada  donatur tetap,” ucapnya.

Tak hanya kegiatan untuk anak-anak jalanan, Any juga memiliki anak asuh di Blitar, Jawa Timur dan Cilincing Jakarta Utara yang jumlahnya hingga ratusan orang. “ Anak asuh ini jika dia masuk sekolah negeri, saya tanggung uang jajan dan transport. Sedangkan yang masuk sekolah swasta, saya tanggung uang sppnya,” tukasnya.

Terinspirasi dari Nenek

Dikatakan Any, sifat peduli pada sesama terinspirasi dari sang nenek, Mbak Sarno Putri. Sejak kecil, sang nenek yang memiliki restoran di Blitar, sering membagi-bagi makanan kepada siapa saja. “Setiap hari selalu membagikan makanan gratis kepada siapa saja. Jadi sudah sangat terkenal. Misalnya tukang becak, belum ada uang, biasa dia datang ke eyang dan dikasih makan gratis. Prinsip hidup eyang itu begini, punya anak cucu, kalau misalnya mereka naik sepeda atau motor lalu ban pecah di jalan, ada yang bantu, karena eyang pernah menanamkan kebaikan bagi orang lain,” katanya.

Dari sosialita dengan gaya hidup hedonis, kini Any bertransformasi menjadi pribadi yang memperhatikan kebutuhan orang. “Ketika dirikan yayasan, saya tinggalkan dunia yang dulu, arisan, nonkrong, belanja barang bermerek. Saya bertranspformasi, dan transformasi ini membuat hidup saya lebih baik dan saya menemukan kebahagiaan di sini,” ucapnya.

Salah satu nilai hidup yang dipegangnya adalah, kita tidak akan miskin, dengan membagi apa yang dipunyai, baik uang, ilmu maupun tenaga. (dess)