Nurrohim : Sekolah Gratis untuk Kaum Marjinal

863

sironline.id, Depok – Pernah hidup di jalanan menumbuhkan kepekaan dan empati kepada kaum papa. Nurrohim yang berasal dari keluarga berada ternyata pernah menjalani hidup yang tak biasa. Kenakalan di masa muda menjadi pembelajaran baginya. Tahun 2000, ia memutuskan membangun Sekolah Master Indonesia. Ini merupakan  sekolah gratis untuk kaum marjinal, mulai dari pemulung, pengasong dan pengamen.

MERINTIS

Diceritakan Nurrohim, awal mula mendirikan Sekolah Master Indonesia, karena keprihatinan melihat anak-anak usia sekolah yang tidak mampu bersekolah. “Yang melatarbelakangi berdiri Sekolah Master, kita berangkat dari keprihatinan. Depok dikenal sebagai kota pendidikan, perdagangan, pemukiman yang nuansanya religius. Kita liat perguruan tinggi UI (Univeristas Indonesia,-red) ada di Depok. Inilah membuat hati saya miris, kota pendidikan tapi banyak usia sekolah yang ga bisa sekolah dan putus sekolah,” terang pria yang lahir di Tegal, Jawa Tengah ini.

Lanjut Nurrohim karena melihat situasi seperti itu, ia bersama beberapa remaja masjid dan aktivis mahasiswa menginisiasi dan menggagas adanya pendidikan alternatif bagi masyarakat marjinal. “Banyak anak-anak pengamen, pengasong, pemulung di usia-usia sekolah, mereka punya keinginan sekolah cuma keterbatasan ekonomi dan akses pendidikan, sehingga terpaksa mereka turun ke jalan. Jadi keinginan mereka sekolah tinggi, tapi tidak mungkin mereka kita arahkan ke sekolah formal, harus ada pendekatan khusus. Jadi pendidikan yang sifatnya informal,” ucapnya.

Karena memiliki keinginan kuat agar anak-anak marjinal ini bisa sekolah, Nurrohim mulai mengumpulkan anak-anak kaum papa ini untuk diajari. Seiring waktu, Nurrohim menyadari bahwa anak-anak ini membutuhkan tempat khusus agar mereka bisa belajar dengan lebih baik. “Jadi kita minta izin di emperan masjid di terminal karena masjid itu sebagai fasus dan fasum Pemkot Depok,” ucapnya.

Karena belajar dekat masjid dan berlokasi di terminal hingga kelompok belajar ini dinamakan Sekolah Master (Masjid Terminal.) “Jadi awalnya di situ, rahim kegiatan kami,” katanya.

Saat mulai mendirikan Sekolah Master pada tahun 2000, ada 20-30 orang anak yang datang untuk belajar. Setiap minggu bertambah yang datang belajar. Dikatakan Nurrohim membutuhkan waktu 2 tahun sampai berdirinya Sekolah Master Indonesia. Jadi pra sekolah itu 2 tahun. Saya buat komunitasnya. Setelah kita pilah komunitas, mulai SD, SMP sambil kita nunggu pengajar-pengajarnya. Tahun 2002, kita bikin kelas SD, lalu SMP, SMA tahun 2003, 2004,” ucapnya.

Ketika Sekolah Master Indonesia baru didirikan, dalam seminggu 3 proses belajar berlangsung hanya 3 hari. Waktu itu, anak-anak marjinal yang diajari hanya pengamen, pengasong, dan pemulung. Saat ini kaum marjinal yang belajar di Sekolah Master makin beragam. “Sekarang udah nambah anak jalanan, anak terlantar, anak-anak berkebutuhan khusus, dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum,” tukasnya.

Biasanya mereka mulai ke sekolah, setelah melakukan aktivitas ‘sosial’. “Setelah mendekati jam 10 udah mulai panas, di saat itu sambil santai kita ngeriung. Pola pikir mereka sudah terbuka, mereka berpikir sudah harus berubah nasibnya. Perubahan itu dimulai dari pendidikan. Mereka punya harapan, mimpi, cita-cita 5 tahun ke depan harus jadi apa. Artinya mereka sudah punya harapan dan cita. Nah tugas kita mendampingi, menjembatani mereka kepada pemangku kebijakan. Kami sadar punya keterbatasan dari sisi keilmuan dan finansial, jadi saya jadikan isu bersama. Bahwa pendidikan itu problem kita semua. Seandainya anak terlantar ini tidak mendapat pendidikan yang baik dan layak, mereka akan menjadi beban negara, pemerintah. Karena itu, mereka harus diberi bekal hidup, dibina dari sisi karakter, akhlak, dan harus dibekali keterampilan,” jelasnya panjang lebar.

Seiring waktu, para relawan harus menyesuaikan, dan mendalami apa keinginan anak-anak marjinal ini. “Kita harus melakukan pendekatan khusus, mereka nyaman dulu. Makanya kita dirikan di tempat-tempat nongkrong, jadi komunitas itu datang ke sini. Mau main musik, mau olahraga, yang penting mereka menghargai kita. Jadi tempat ini bukan untuk mabuk, narkoba, tapi untuk istirahat,” ungkapnya.

Yang paling mereka butuhkan adalah tempat perlindungan. “Komunitas mana yang mau menerima mereka dengan segala keterbatasan. Jadi mereka selama ini menjadi orang yang tidak diakui, menjadi orang asing di negerinya sendiri. Mereka dicaci maki, dicemooh, dicibir, bahkan dituduh pelaku kriminal. Saya melihat mereka adalah korban. Korban ketidakberdayaan keluarganya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Seharusnya masyarakat peduli dan negara hadir, mereka juga korban sistem negaranya juga. Jadi kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya bagi anak-anak ini. Negara suatu waktu akan mengalami bencana sosial, kalau orang-orang ini menjadi berandal dan menjadi pendendam. Mereka akan buat keonaran di mana-mana,” terangnya.

Para anak-anak kaum marjinal ini tidak hanya diajari mata pelajaran sekolah, tapi mereka juga diberikan informasi dan motivasi. “Pendekatan kayak bimbingan konseling, jadi lebih kepada motivasi, wawasan, lebih ke pengayaan informasi. Kalian bisa loh dapat hak-hak seperti ini. Jadi kita menjembatani untuk mewujudkan impian, harapan mereka,” ujar pria yang hobi baca ini.

Model pendidikan di Sekolah Master Indonesia berbeda dengan sekolah umum lainnya. Nurrohim beserta teman-temannya membuat program sekolah berdasarkan kebutuhan. “Makanya kurikulum di sini model sekolah pendidikan khusus dan layanan khusus. Bisa dibilang education for all jadi model. Semua orang bisa sekolah dari anak-anak sampai yang punya anak. Jadi kita kalau mau bikin program, kita diskusi, kita berikan angket, ada pilihan-pilihan, pilihan terbanyak kita berikan prioritas. Minimal kurikulum berdasarkan kebutuhan (KBK). Tugas relawan ini bagaimana menjadi sahabat, juga memotivasi, menginspirasi peserta didik dan menggali potensi. Setiap orang kecerdasan yang berbeda-beda. Nah kita coba keunggulan-keunggulan ini, kita lejitkan, matangkan, lalu kita kelompokkan,” tukasnya.

Nilai-nilai utama hidup diajarkan kepada anak-anak marjinal ini. “Minimal dia nyaman dengan kebaikan, bahwa jadi orang baik itu ternyata nyaman, tidak dicurigai. Boleh di jalan tapi punya adab, punya etika. Kalaupun mau ngamen, mau mulung, jangan dalam kondisi mabuk dan tidak membawa senjata tajam, Bagaimana kita ajarkan bahwa mereka punya rasa, walaupun miskin tapi kepeduliannya tinggi, artinya membantu orang kan tidak harus dengan uang. Ketika orang mau nyebrang, atau orang bawa berat dibantuin,” tukasnya.

Sebagai Pendiri Sekolah Master, Nurrohim sangat mengutamakan pendidikan karakter dan keterampilan. “Jadi minimal orang miskin tapi dia sehat, juga pintar, jadi produktif, bisa berdaya, secara skill mereka mumpuni, jadi ketika dia masuk dunia kerja, punya ijazah, akhlaknya baik, itu bisa bersaing dengan yang lain. Kalau dia mau wirausaha, kita sudah bekali itu, jadi bisa berdaya. Dengan pendidikan ini bisa memutus mata rantai kemiskinan dan keterpurukan, itu yang kita harapkan,” terangnya.

Saat ini Sekolah Master punya program yakni satu keluarga, satu sarjana. “Karena pendidikan ini bisa mengangkat martabat, dan derajat keluarga. Jadi tidak direndahkan lagi. Kalau dulu ibunya paling tukang cuci, kalau ada satu anaknya sarjana. Kita ingin memasterkan masyarakat yang marginal, harapan kita itu pengentasan kemiskinan, keterpurukan, keterbelakangan dengan pendidikan,” ucapnya.

Yang membuat Sekolah Master Indonesia ini istimewa karena siapa pun yang bersekolah di sini tidak dipungut biaya. “Semua gratis, tapi bayar juga pake DUIT (Doa, Usaha, Iman dan Tawakal),” pungkas Nurrohim. dsy