Marak Perda Diskriminatif, Jokowi Didorong Bentuk Pusat Legislasi Nasional

73
Diskusi Serata Institut tentang diskriminasi dan inteloransi foto D. Ramdani)

Sironline.id, Jakarta – Begitu banyak Peraturan Daerah (Perda) dan Produk Hukum Daerah yang bersifat intoleran dan cenderung diskrimanatif, maka dari itu, Presiden Joko Widodo diminta segera mewujudkan Pusat Legislasi Nasional. Hal ini bukanlah tanpa alasan. Menurut hasil penelitian SETARA Institute sejak September 2018 hingga Februari 2019, ditemukan 91 produk hukum daerah di Jawa Barat dan 24 produk hukum daerah di Yogyakarta yang berpotensi diskriminatif terhadap akses pelayanan publik.

Riset ini menggambarkan bagaimana produk hukum daerah dalam berbagai bentuknya, menimbulkan dampak diskriminasi, baik diskriminasi yang bersifat langsung (direct discrimination) maupun diskriminasi yang bersifat tidak langsung (indirect discrimination). Riset ini memperkuat bahwa keberadaan perda perda diskriminatif adalah bentuk pelanggaran HAM (violation by rule) dan menuntut penyikapan ketatanegaraan holistik.

Menurut Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute, rencana pembentukan Badan Pusat Legislasi Nasional yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2019 adalah peluang terbaik untuk melakukan dua hal sekaligus. Yakni merespons produk hukum daerah diskriminatif yang existing yang berujung pada rekomendasi political review pada masing-masing daerah. Kedua, mendesain sekaligus menjalankan peran pengawasan terintegrasi dan berkelanjutan rancangan peraturan daerah dan produk hukum daerah lainnya. Pembentukan Badan ini membutuhkan rekonsiliasi kewenangan pengawasan Kementerian Dalam Negeri dan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM sekaligus memutus tarik menarik kewenangan dan ego sektoral dua kementerian ini, dalam penanganan produk hukum daerah

“Untuk membentuk badan ini, Jokowi cukup menerbitkan Peraturan Presiden dengan menghimpun kewenangan-kewenangan eksekutif yang tersebar di Kementerian dan Pemerintah Provinsi sebagai tugas pokok badan baru. Dalam jangka menengah penguatan kewenangan badan baru harus dilakukan dengan 2 merevisi secara terbatas UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU 12/2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” papar Ismail yang juga Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Sebelum Badan Pusat Legislasi Nasional terbentuk, pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM membentuk Satuan Tugas (Taskforce) untuk menyusun indeks kebijakan daerah yang terpusat dan satu data (repository) yang menghasilkan data dan rekomendasi revisi/pencabutan produk hukum daerah, dalam kerangka yang tidak bertentangan dengan Putusan Makamah Konstitusi sebagaimana dimaksud.

“Secara paralel, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang menerbitkan produk hukum daerah diskriminatif melakukan kajian dan revisi serta pemulihan hak atas pelayanan publik, melalui 3 langkah. Pertama, untuk jenis peraturan gubernur (Pergub), Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwali) pemerintah daerah bisa langsung melakukan revisi. Kedua, untuk jenis produk hukum daerah dalam bentuk Perda, Gubernur dan Bupati/Walikota mengambil prakarsa melakukan legislative review melalui mekanisme legislasi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga, pemerintah daerah, melakukan pemulihan segera terhadap kelompok terkena dampak dengan memenuhi hak-hak atas pelayanan publik dan atau menyusun panduan pelayanan publik baru yang toleran dan antidiskriminasi,” ucapnya.

Plt Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Akmal Malik mengatakan pihaknya akan mengundang berbagai lembaga terkait guna membahas temuan tersebut. “Saya suprise dengan kajian-kajian itu. Dan tentunya saya sudah janji tadi, minggu depan kami akan rapat, kita akan undang SETARA Institute, kita akan undang Ombudsman, kita juga akan undang Kemenkum HAM agar kita bisa menelaah secara lebih jeli terhadap hasil dari kajian ini,” ujar Akmal yang ditemui seusai seminar SETARA Institute.

Akmal menuturkan, meskipun pihak Kemendagri tidak lagi berwenang untuk membatalkan Perda, pihaknya akan mencoba menggunakan pendekatan komunikatif terhadap Pemda terkait guna memfasilitasi hadirnya produk-produk hukum yang toleran dan anti diskriminatif. “Kami yakin melalui pendekatan komunikasi yang baik dari hati ke hati dari teman-teman Pemda kita bisa menggugah hati nurani Pemda untuk merubah ketika ada produk hukumnya yang intoleran dan diskriminatif,” terang Akmal.

Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan pihaknya akan melakukan pengawasan penuntasan keberadaan produk hukum diskriminatif ini oleh Kemenkum HAM. “Kalau yang saya lihat ini teman-teman Komnas Perempuan sudah melakukan dan beberapa hal sudah dilakukan tindak lanjutnya oleh Kemenkum HAM, pintu masuk yang akan dilakukan oleh Ombudsman adalah mengawasi tindak lanjut Kemenkum HAM terkait upaya menyelesaikan perda-perda diskriminatif ini,” Katanya.

Dia mengatakan Kemenkum HAM sudah membentuk pokja (kelompok kerja) untuk menuntaskan masalah ini. Ninik menyebut pokja yang dibentuk Kemenkum HAM akan mengkaji produk hukum tersebut sebelum dikembalikan ke daerah untuk diperbaiki atau dicabut. “Karena tadi kan disampaikan ya oleh Kemenkum HAM sudah dibentuk pokja, lalu pokja juga kan melihat kebijakan ini lalu dikembalikan ke daerah untuk dilakukan perbaikan atau pencabutan. Mungkin akan ke sana koordinasinya, koordinasi dengan Kemenkum HAM kalau pokja ini berjalan,” tutupnya. (D. Ramdani)