Hipertensi Incar Generasi Milenial

242

 

Hipertensi menyebabkan kematian dini 1,4 miliar jiwa di dunia, mayoritas tinggal di negara berkembang. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) mengalami kenaikan signifikan dibandingkan dengan Riskesdas 2013.

Khusus penyakit hipertensi, naik dari sebesar 7,6% dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2013, yaitu dari 26,5% menjadi 34,1%. Penderita penyakit hipertensi pada generasi milenial yaitu di usia rentang usia 18-24 tahun sebesar 13,2% dan usia 25-34 tahun 20,1%.

Hipertensi merupakan gangguan pada sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi 140/90 mmHg. Ketika dilakukan pemeriksaan tekanan darah, dihasilkan dua angka, yaitu angka yang lebih tinggi dan angka yang lebih rendah.

Angka yang lebih tinggi didapat ketika jantung berkontraksi (sistolik), sedangkan angka yang lebih rendah didapatkan ketika jantung berileksasi (diastolik). Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg dapat diartikan sebagai tekanan darah normal. Ketika terjadi tekanan darah tinggi, umumnya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik.

“Salah satu faktor risiko hipertensi adalah gaya hidup. Studi epidemiologi di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa 7,3% kaum milenial (dewasa muda usia 18-39 tahun) terkena hipertensi dan 23,4% termasuk kategori prahipertensi. Gaya hidup yang dimaksud mengarah pada aktivitas fisik yang kurang karena semakin berkembangnya fasilitas seperti lift yang membuat masyarakat semakin jarang menggunakan tangga, kebiasaan merokok, serta konsumsi makanan instan dan cepat saji yang mengandung garam dan MSG. Faktor psikososial seperti stres akibat pekerjaan juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi,” kata dr. Paskariatne Probo Dewi Yamin, Sp.JP.

dr. Paskariatne Probo Dewi Yamin, Sp.JP

Hipertensi disebut juga silent killer atau penyakit yang tidak menimbulkan tanda-tanda khusus. Rata-rata kaum miilenial diketahui terkena hipertensi saat melakukan medical check-up, itu pun jika ada program dari kantornya. Sebenarnya hal ini tidak dapat disepelekan. Karena itu penting untuk meningkatkan awareness masyarakat dengan melakukan deteksi dini atau mengukur tekanan darah sendiri di rumah.

“Apalagi sekarang sudah ada alat pengukur tekanan darah digital yang lebih memudahkan masyarakat dalam mengukur, jadi seharusnya sudah tidak ada hambatan,” tutur perempuan muda yang bertugas di RSPAD Gatot Subroto ini.

Hipertensi dapat meningkatkan risiko stroke, gagal ginjal, dan gagal jantung. Risiko komplikasi meningkat dengan adanya faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah seperti kolesterol dan kadar gula darah tinggi (diabetes). Beberapa kondisi memiliki hubungan yang bermakna dengan  kejadian hipertensi, di antaranya tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi rendah, kelebihan berat badan, atau gangguan emosional.

Generasi milenial diimbau untuk mewaspadai adanya penyakit hipertensi dengan melakukan pencegahan dan pengontrolan. Generasi milenial yaitu mereka yang berusia 15 tahun ke atas dan menempati 68,7% dari populasi berdasar data Survei Penduduk Antarsensus (SUPAS) 2015. Mereka dianjurkan melakukan modifikasi salah satu faktor penyebab hipertensi, yaitu melakukan pola hidup sehat untuk mengurangi risiko terkena hipertensi.

Secara menyeluruh, tren prevalensi penyakit hipertensi meningkat, seperti juga berbagai penyakit yang berkaitan langsung dengan hipertensi seperti gagal ginjal, stroke, dan penyakit jantung. Berdasarkan data WHO 2018, prevalensi hipertensi di dunia sebesar 40% dan rata-rata dimulai pada usia 25 tahun.

Faktor risiko hipertensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu disebabkan oleh faktor penyerta lain seperti kerusakan organ (jantung, ginjal atau penyakit kardiovaskular lainnya) dan faktor lingkungan atau gaya hidup tidak sehat seperti konsumsi makanan serba instan dan konsumsi garam berlebih. Faktor lainnya, yaitu faktor usia. Dikatakan semakin tinggi umur seseorang, semakin tinggi angka tekanan darahnya. Biasanya terjadi pada laki-laki di atas usia 50 tahun, sedangkan bagi perempuan di usia 65 tahun atau saat post-menopause.

Kerusakan Organ

Hipertensi harus diobati, semakin cepat lebih baik karena dapat menimbulkan kerusakan target organ, infark jantung, stroke, gagal ginjal, vaskular yang berakibat buruk sehingga dapat menimbulkan kematian dan kecacatan. Pengobatan hipertensi juga ditujukan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dengan cara mengendalikan maksimal semua faktor risiko yang ada. Pencegahan dengan menerapkan modifikasi gaya hidup, makan sehat, olahraga teratur, dan patuh terhadap pengobatan hipertensi yang saat ini mudah didapatkan, serta melakukan deteksi dini tekanan darah baik di rumah maupun di fasilitas kesehatan yang ada.

Hipertensi jarang menunjukkan gejala, dan pengenalannya biasanya melalui skrining, atau saat mencari penanganan medis untuk masalah kesehatan yang tidak berkaitan. Beberapa orang dengan tekanan darah tinggi melaporkan sakit kepala (terutama di bagian belakang kepala dan pada pagi hari), serta pusing, vertigo, tinitus (dengung atau desis di dalam telinga), gangguan penglihatan atau pingsan dan beberapa gejala seperti jantung berdebar-debar; sulit bernapas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat; mudah lelah; wajah memerah, hidung berdarah.

Hipertensi disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor genetika dan faktor lingkungan. Faktor genetika atau yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia (hipertensi berkembang antara 35-55 tahun), etnis (etnis Amerika keturunan Afrika menempati risiko tertinggi). Peneliti meyakini 30-60% kasus hipertensi diturunkan secara genetis. Faktor lingkungan atau yang dapat dimodifikasi, yakni diet makanan dengan kadar garam tinggi, obesitas, merokok, dan kondisi penyakit lain seperti diabetes melitus tipe-2 cenderung meningkatkan risiko peningkatan tekanan darah hingga 2 kali lipat.

“Penting untuk diingat, kunci pencegahan hipertensi sangat mudah dilakukan, yakni memperbanyak aktivitas fisik dan menjalani pola hidup sehat,” kata dr. Paskariatne. (Est)