Demi Persatuan Bangsa, Prabowo Rajut Hubungan Rukun dengan Megawati

173

sironline.id – Pasca-bertemu dengan capres terpilih Joko Widodo, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri di kediaman Megawati, Jl Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 24/07/2019.

Hadir dengan balutan kemeja batik hijau, Prabowo ditemani Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo. Mereka disambut kedua anak Mega, Puan Maharani dan Prananda Prabowo serta Megawati yang kompak berpakaian batik merah. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan fungsionaris PDIP Pramono Anung serta Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan turut hadir. Setelah berbincang singkat, Prabowo masuk ke dalam rumah Megawati untuk menyantap menu makan siang yang spesial telah disiapkan mantan pasangannya pada pilpres 2009 lalu itu. “Jadi Ibu Ketua Umum secara khusus mempersiapkan kunjungan Pak Prabowo dengan penuh semangat persaudaraan, dengan sejarah yang panjang Ibu Megawati dan Pak Prabowo,” tegas Hasto.

Pertemuan kedua tokoh bangsa ini merupakan bagian dari silaturahmi dan bukan bagi-bagi jatah kursi. Jokowi yang sebelumnya dijadwalkan hadir, absen lantaran sedang bertugas menyambut Putra Mahkota Abu Dhabi atau Wakil Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Persatuan Emirat Arab, Sheikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan yang datang ke Indonesia Rabu (24/07/2019) siang.

Setalah jamuan makan siang dan silaturahmi dua sahabat selama 2 jam, Mega mengantarkan Prabowo hingga teras depan rumahnya yang luas dan rimbun dengan pohon-pohon besar. Pada kesempatan itu, Prabowo menyampaikan kunjungannya kali ini merupakan sowan kekeluargaan. Ia memuji Megawati yang memenuhi janjinya untuk memasakkan nasi goreng kesukaannya. “Nasi gorengnya enak, sampai saya nambah. Bu Mega bilang ke saya untuk diet,” tandas Jenderal yang akrab disapa 08 itu.

Capres yang maju bersama Sandiaga Uno pada pilpres 2019 ini mengatakan jika pertemuan tersebut sebagai bentuk menyambung kembali persahabatan lama diantara keduanya. Ia sangat mengapresiasi Ketua Umum PDIP itu yang selalu mendapat penghormatan dan perlakuan yang baik. “Kadang-kadang mungkin kita beda dalam sikap politik, tapi kami sama-sama patriot. Bagi kami NKRI harga mati. Kalau perbedaan itu biasa. Kami ingin melanjutkan tali persaudaraan dan hubungan yang rukun baik sehingga kita bisa membantu mengatasi masalah bangsa,” tegas mantan Danjen Kopasus ini. “Terima kasih nasi gorengnya. Kami tunggu ibu jalan-jalan ke Hambalang,” ucap Prabowo.

Menyambut baik silaturahmi Prabowo, Megawati mengatakan jika pertemuan tersebut seharusnya telah terjadi beberapa waktu lalu. Namun karena kesibukan pemilu dan persiapan Kongres PDIP 8-11 Agustus mendatang membuatnya baru bisa bertemu dengan Prabowo. Ia pun merasa senang karena Prabowo menyukai nasi goreng buatannya. Ia mengatakan jika ‘politik nasi goreng’ berhasil meluluhkan hati politisi laki-laki. “Beliau nagih terus karena nasi goreng yang saya buat, enak sekali. Ini juga diakui semua yang makan nasi goreng buatan saya,” ujarnya tersenyum.

Senada dengan Prabowo, Megawati pun menegaskan jika beda pendapat diantara keduanya adalah hal yang biasa, namun dengan berakhirnya pilpres perbedaan tersebut harus diakhiri. “Kenapa diteruskan. Kita rukun kembali, jalin persabatan kita untuk kepentingan bangsa dan negara. Kita bisa berdiskusi kapan pun silahkan datang ke tempat saya,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Megawati mengatakan jika Prabowo ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo lagi, ia bisa menyampaikan pada kader partainya tersebut. “Kalau ingin ketemu saya bisa sampaikan. Tapi menurut saya ngomong langsung dengan Pak Jokowi pasti dia sambut baik,” tambahnya.

Di Indonesia, ia mengatakan tidak ada posisi koalisi maupun oposisi, dan dialog memang diperlukan demi membangun bangsa ke depan. Namun untuk masalah kelanjutan pemerintahan ke depan, Ia mengatakan keputusan ada di tangan presiden terpilih. Karena itu adalah hak prerogratif presiden terpilih.

Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia menilai pertemuan antara Prabowo dan Mega tentu positif, artinya ada silaturahmi yang baik antara kedua tokoh bangsa. Selama ini kedua tokoh ada di pihak yang saling berseberangan di Pilpres, dan kini kita menyaksikan mereka bersilaturahmi. Mereka bersatu tentu demi kepentingan yang lebih besar, kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kepentingan persatuan, kepentingan persaudaraan dan kepentingan bangsa dan negara.

“Keduanya sahabat yang sangat dekat karena pernah menjadi capres dan cawapres. Kedekatan ini sebetulnya memudahkan mereka untuk saling bersilaturahmi dan saling berbagi. Tentu intinya untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Karena Pilpres sudah usai, oleh karena itu yang penting adalah  elit elit bersatu dan masyarakat juga Bersatu,” terangnya.

Dari pertemuan kedua tokoh, Ujang punya keyakinan kemungkinan besar pertemuan keduanya dalam rangka silaturahmi, dan ada lobi lobi politik. Itu wajar karena mereka berdua adalah tokoh bangsa. Dan kemungkinan besar juga akan dibicarakan power sharing. “Sesungguhnya power sharing itu bukan sesuatu yang tidak boleh. Di dunia politik itu power sharing biasa. Makanya Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais mengatakan soal pembagian porsi 55-45 terkait rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo karena dalam konteks teori politik tidak masalah. Asalkan hal itu dilakukan dalam kesepakatan bersama,” tambahnya.

Menurutnya, kemungkinan besar arahnya akan ke sana, karena ketika Prabowo bertemu dengan Jokowi beberapa waktu lalu menjadi pintu masuk rekonsiliasi. Dalam rekonsiliasi antara Prabowo dan Jokowi ada pintu lain yang harus dibuka.  Ada partai-partai koalisi Jokowi yang harus didekati untuk memuluskan rekonsiliasi itu dan Megawati merupakan salah satu ketua umum partai yang ada di koalisi Jokowi dan beliau yang paling senior. Oleh karena itu sangat tepat ketika Prabowo menyambangi Mega, selain karena sahabat tentu bagian dari komunikasi politik untuk memperlancar rekonsiliasi ke depan.

Lebih lanjut ia menilai hampir semua negara demokrasi selalu melakukan power sharing, misalnya di Amerika Obama bersaing dengan Hillary Clinton lalu Hillary kalah. Kemudian Hillary diangkat jadi Menteri Luar Negeri. “Itu contoh yang merupakan bagian dari rekonsiliasi. Selama untuk menjaga  persaudaraan dan persatuan demi kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan partai atau kepentingan kelompok, itu sah-sah saja,” tutupnya. (dan, eka)