Kertas Posisi Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) terkait Masalah Laut Natuna

227

sironline.id, Jakarta – Sejak akhir Desember 2019, Laut Natuna kembali memanas. Hal ini ditandai dengan adanya informasi nelayan Natuna yang melaporkan masuknya kapal ikan asing berbendera Vietnam dan Tiongkok yang melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal di ZEE Indonesia. Ironisnya, kegiatan kapal ikan kedua negara tersebut mendapat pengawalan dari kapal pemerintah mereka (coast guard). Butuh waktu beberapa hari bagi otoritas Indonesia untuk meyakini informasi tersebut. Bakamla dan TNI AL yang kemudian merespon dengan mengirimkan kapal perang untuk melakukan tindakan hukum (pengusiran). PSDKP-KKP melakukan penangkapan 3 kapal ikan Vietnam yang melakukan pencurian ikan di Natuna.

Jika kapal ikan Vietnam segera meninggalkan Laut Natuna, tidak demikian dengan kapal Tiongkok. Tiongkok justru menambah kapal coast guard untuk mengawal dan melakukan operasi -patroli di ZEE Indonesia. ZEE Indonesia memiliki persinggungan dengan nine dash line yang diklaim Beijing. Hal ini membuat Jakarta meradang. TNI menambah 8 kapal KRI dan Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Natuna pada tanggal 8 Januari 2020. Di SKPT Natuna, Jokowi menegaskan bahwa Indonesia memiliki hak berdaulat atas laut Natuna. “Saya ke sini juga ingin memastikan penegakan hukum atas hak berdaulat kita, hak berdaulat negara kita Indonesia atas kekayaan sumber daya alam laut kita di zona ekonomi eksklusif. Kenapa di sini hadir Bakamla dan Angkatan Laut? Untuk memastikan penegakan hukum yang ada di sini,” ujar Jokowi.

Kunjungan tersebut untuk sementara berhasil melunakkan sikap Beijing, dengan ditarik mundurnya armada kapal ikan dan coast guard dari laut Natuna. Tapi itu tidak permanen, hari Sabtu, tanggal 11/1/20120, kapal coast guard Tiongkok kembali muncul di laut Natuna. Otoritas AL Indonesia bekerja keras untuk menghalau kapal coast guard Tiongkok tersebut. Laut Natuna menyimpan konflik kedua negara dan menjuru ke konflik kawasan. Laut Cina Selatan telah lama menjadi sumber konflik negara-negara di Asia Tenggara dan Tiongkok. Kawasan ini memilki potensi perikanan dan migas yang tinggi serta menjadi jalur utama perikanan global. Dalam klaim Tiongkok terhadap nine dash line di Laut Cina Selatan, Indonesia tidak terlibat konflik secara langsung. Namun pemerintah Tiongkok sejak tahun 2014 telah mengirimkan misi untuk melakukan kegiatan penelitian potensi sumberdaya laut di Natuna dan mengirimkan kapal ikan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. “Atas meningkatnya eskalasi di laut Natuna, pemerintah Indonesia perlu mengambil kebijakan dan tindakan nyata guna menunjukan eksistensi dan “penguasaan” terhadap laut Natuna,” jelas Moh Abdi Suhufan, Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO).

Oleh karena itu, ISKINDO menyampaikan Kertas Posisi kepada Presiden Jokowi sebagai pandangan dan masukan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan dan langkah konkrit dalam menyelesaikan krisis di Laut Natuna, sebagai berikut :

  1. Mendorong otoritas keamanan Indonesia untuk melakukan pengawasan intensif di perairan Natuna. Bakamla, PSDKP-KKP, Kementerian Perhubungan dan backup TNI-AL perlu meningkatkan intensitas operasi pengawasan dan patroli di laut Natuna dan sekitarnya. Hal ini mengingat pada laut ZEE Indonesia, negara Indonesia memiliki hak berdaulat secara penuh sehingga aktvitas pemerintah dan masyarakat di zona tersebut perlu mendapat perlindungan dari negara. Selanjutnya, Indonesia perlu meningkatkan sistim pertahanan laut dan udara di Natuna untuk menangkal ancaman keamanan yang terus meningkat di Laut Cina Selatan.
  2. Pemerintah agar lebih meningkatkan upaya penegakan hukum yang tegas bagi pelanggaran kedaulatan RI. Otoritas keamanan Indonesia agar mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat yang dilakukan oleh kapal ikan asing yang melakukan kegiatan pencurian ikan di laut teritori dan ZEE Indonesia. Hal ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat, punya hak berdaulat dan tidak bisa diintervensi oleh kekuatan apapun atas wilayah NKRI.
  3. Mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan diplomasi dan strategi. Kementerian Luar Negeri perlu secara aktif menyampaikan sikap dan kebijakan Indonesia terhadap permasalahan Laut Natuna pada dunia/forum Internasional. Upaya diplomasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan dukungan negara-negara sahabat dan negara lain atas tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah di Laut Natuna.
  4. Mendorong pemerintah untuk segera mengisi gap dan optimasi pemanfaatan sumberdaya Perikanan. Berdasarkan data KKP, laut Natuna yang merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 memiliki potensi ikan lestari sebanyak 767.000 ton, namun sudah dengan tingkat pemanfaatan yang tinggi. Ikan jenis tertentu seperti pelagis kecil, udang dan kepiting sudah masuk kategori over eksploitasi. Rencana pemerintah mengirimkan 120-500 kapal dan nelayan Pantura ke Natuna perlu didukung namun dengan pertimbangan yang matang terutama perlu memperhatikan kuota dan izin tangkap, penggunaan jenis alat tangkap dan sesuai dengan rencana pengelolaan perikanan yang sudah disusun oleh pemerintah.
  5. Mengoptimalkan sistem hub (logistik dan rantai dingin) untuk industri Perikanan. Pemerintah perlu mengoptimalkan keberadaan Sentra Kelautan dan Perikanan (SKPT) Natuna sebagai sistim hub logistik dan rantai dingin perikanan. Hal ini bertujuan agar kegiatan perikanan di Natuna dapat berjalan secara efisien. Oleh karena itu, melengkapi sarana dan prasarana SKPT dan menciptakan investasi dalam kawasan SKPT merupakan hal yang urgen dilakukan agar kegiatan perikanan dapat berlangsung secara optimal dan merupakan satu rangkaian bisnis perikanan dari hulu ke hilir.
  6. Mendorong kerjasama lintas Kementerian/Lembaga dan dunia usaha untuk meningkatkan kapasitas Nelayan, Pembudidaya untuk kesejahteraan. Dukungan lintas kementerian, lembaga dan dunia usaha sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas nelayan dan pembudidaya ikan yang bernilai tambah di Natuna serta memajukan sektor-sektor pembangunan lainnya seperti pariwisata, migas dan pertanian. Kegiatan pembangunan di Natuna mesti dikoordinasikan dengan baik pada tingkat pusat serta melibatkan dunia usaha dan industry. Khususnya di sektior kelautan dan perikanan dukungan K/L yang sangat dibutuhkan adalah penyediaan BBM yang cukup bagi nelayan, pembangunan kampung nelayan, penyediaan sarana telekomunikasi di pualu-pulau kecil sekitar Natuna, transmigrasi nelayan mandiri dan penguatan koperasi nelayan.
  7. Mendorong pemerintah untuk melakukan riset kelautan terpadu di Natuna. Pemerintah Indonesia mesti mendesain program riset kelautan terpadu untuk mengungkap secara detil potensi sumberdaya laut di Natuna. Tiset kelautan dimaksud bertujuan untuk mendata dan menghitung potensi perikanan, mineral, gas, osenagorafi yang ada di laut Natuna. Riset tersebut perlu melibatkan otoritas dan badan riset di Indonesia seperti BPPT, LIPI, Pushidros, BRSDMKP, Balitbang ESDM dll agar pelaksanaan riset dapat menghasilkan data lengkap dan saling mendukung untuk mengelola potensi sumberdaya laut Natuna.
  8. Mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Perpres Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah Natuna dan Natuna Utara. Pemerintah Indonesia segera mendefinitifkan Peraturan Presiden Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah (RZ-KAW) Natuna dan Natuna Utara (di atas 12 mil). Rencaan zonasi tersebut menjadi penting sebagai landasan, arahan dan strategi pemanfataan ruang laut dan perairan di Natuna dan Natuna Utara bagi kegiatan pembangunan. Sebagai kawasan perbatasan RZ-KAW Natuna dan Natuna Utara akan menjadi acuan bagi pemerintah, swasta dan stakeholder lainnya untuk merencanakan kegiatan pembangunan dan investasi di wilayah tersebut.