Atasi Pelanggaran China di Natuna, Pemerintah Disarankan Lakukan Back Door Diplomacy 

265
Diskusi Kedaulatan RI atas Natuna fOTO Rayi Gigih

Sironline.id, Jakarta – Laut Natuna kembali memanas. Kapal-kapal milik China yang sempat hengkang dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia pekan sebelumnya kembali berseliweran di ZEE Indonesia dengan jarak 200 mil dari titik pantai pulau terluar Kepulauan Natuna.

Tiga kapal milik TNI Angkatan Laut, yaitu KRI Usman Harun-359 bersama KRI John Lie-358 dan KRI Karel Satsuit Tubun-356 mendeteksi 49 kapal nelayan pukat asing yang diduga mengambil kekayaan dalam laut secara ilegal di ZEE Indonesia, Sabtu (11/01/2020).

Tak hanya itu, Kapal Coast Guard China-4301 membayangi KRI Usman Harun-359 dengan menggunakan lampu sorot ke anjungan saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China. Bahkan Kapal Coast Guard China-5302 memotong haluan KRI Usman Harun-359 pada jarak 60 yards, atau sekitar 55 meter.

Ketegangan ini dimulai sejak 19 Desember 2019 dimana Kapal-kapal China dinyatakan telah melanggar ZEE Indonesia dengan melakukan kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF). Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna karena China mengklaim sepihak.

Menanggapi isu yang tengah hangat, Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Din Syamsuddin mengatakan pelanggaran batas wilayah kelautan yang dilakukan kapal kapal Tiongkok harus diselesaikan sesegera mungkin. Jika dibiarkan bisa mengancam kedaulatan negara.

“Masalah ini harus segera diselesaikan, dengan perkembangan geopolitik. Saya kira kita semua mendambakan stabilitas dan perdamaian. Karena itulah perlu adanya sebuah penyelesaian. Kedaulatan atas negara harus ditegakkan,” kata Din Syamsuddin pada diskusi Centre for Dialogue and Cooperation bertema Kedaulatan RI Atas Natuna di Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (13/1/2020).

Menurutnya, pemerintah Indonesia sebaiknya jangan bernegosiasi dengan alasan apapun jika terjadi pelanggaran wilayah perbatasan. Pada kesempatan itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 ini mengapresiasi pernyataan Kementerian Luar Negeri Indonesia yang tidak akan bernegosiasi dengan pihak Tiongkok. “Saya apresiasi pernyataan Menlu bahwa tidak ada negosiasi terhadap masalah tersebut. Inilah saatnya bagi Indonesia untuk mengamalkan secara konsisten pembukaan UUD 45,” tambahnya.

Perkuat Kekuatan TNI AL

Senada dengan Din, Pakar hukum laut Internasional Prof Hasjim Djalal mendesak pemerintah untuk segera menunjuk negosiator dengan pemerintah Cina untuk segera mencari jalan yang terbaik agar tidak terjebak dalam pusaran konflik internasional.

“Perlu penjajakan yang lebih baik sehingga tidak terjebak konflik internasional dengan Amerika Serikat (AS), Cina, Vietnam, Philipina, dan Malaysia,” kata Hasjim. Dirinya mengusulkan saudara Damos Dumoli Agusman, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI.

Ayah dari Dino Pati Djalal ini melanjutkan, dari kasus pencurian ikan oleh China di perairan Natuna ini, seharusnya pemerintah Indonesia lebih memperkuat kemampuan teknologi, peralatan, kekuatan Angkutan Laut (AL).

“Pertahanan kita pun juga harus diperkuat. Kita hanya punya 3 kapal selam. Cina punya 70 lebih kapal selam,” kata Hasjim. Apalagi Bakamla (Badan Keamanan Laut) tidak berfungsi. Lebih jauh Hasjim mengungkapkan untuk kasus ini sebenarnya Cina lebih banyak memiliki kepentingan dibandingkan Indonesia.

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan DPR memiliki suara yang seragam bahwa urusan kedaulatan tak bisa dikompromi. DPR juga mendorong pemerintah berjuang maksimal dalam mengamankan kedaulatan NKRI baik di Natuna maupun lokasi lainnya.

“Apalagi tidak hanya soal ZEE tp menghalangi penegakan hukum aparat Indonesia. Sehingga ini jadi lebih berat, tak hanya soal klaim teritorial. Dalam hal ini, sikap DPR tone-nya sama,” katanya.

Ia mengatakan bahwa Komisi I DPR berencana mengundang seluruh stakeholder mulai dari Menteri Luar Negeri (Menlu), Menteri Pertahanan (Menhan), Panglima TNI, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk membahas persoalan yang terjadi di perairan Natuna. Politisi PKS ini mengatakan, rapat tersebut agar diketahui duduk persoalan agar tidak terjadi kesalahpahaman. “Kami ingin tahu dulu persoalannya dan DPR intinya siap berikan back up politik,” tegasnya.

Pada kesempatan itu juga ia mengatakan jika mengelola wilayah perairan Indonesia yang begitu luas seharusnya diberdayakan dengan maksimal secara ekonomi. “Itu saya kira persoalan-persoalan yang kalau diperlukan pemerintah buat APBN dan DPR punya suara untuk perkuat itu,” ujarnya.

Sukamta juga meminta pemerintah Indonesia harus bisa memastikan apakah pelanggaran batas wilayah perairan di Natuna yang dilakukan Tiongkok memang sekadar pencurian ikan, atau ada hal yang lain. Jangan sampai, kasus pelanggaran batas wilayah oleh nelayan hanya sebuah misi kamuflase atau kedok untuk menutupi maksud sesungguhnya negara Tiongkok.

“Kita khawatirkan Cina (Tiongkok) hanya menjadikan nelayan sebagai cover, sehingga kita perlu memastikan mereka tidak melakukan langkah yang membahayakan kita secara umum,” tandasnya.

Menurutnya, sampai dengan saat ini memang ada sejumlah kejanggalan ketika Indonesia menyingkapi kasus pelanggaran batas wilayah yang dilakukan nelayan Tiongkok. Salah satunya adalah Malaysia yang sama sekali tidak merespons keberadaan nelayan Tiongkok di perairannya.

“Malaysia wilayahnya digunakan lalu lalang nelayan Cina, tetapi diam. Tidak mungkin negara Malaysia tidak sadar. Kita berharap pemerintah kompak menghadapi ini,” ucapnya.

Berdayakan Nelayan

CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa menilai nelayan di Natuna harus diberdayakan sebagai bentuk kehadiran negara di Perairan Natuna agar tak diganggu oleh China atau pihak asing lainnya. “Bagaimana Natuna utara ini untuk memberikan kesejahteraan kepada nelayan Natuna. Jangan nelayan dari Jawa dulu, diutamakan nelayan Natuna dulu,” katanya.

Menurutnya apabila dilihat dari data, nelayan di Natuna jarang memiliki GT kapal yang besar, mereka hanya menggunakan kapal dengan kapasitas 10-30 GT dan mendapatkan izin operasi dari pemerintah daerah. Achamd mengatakan, kehadiran nelayan di Natuna menjadi salah satu upaya kehadiran negara yang harus dilakukan dalam menjaga teritorial wilayah selain aparat penegak hukum. “Nelayan Indonesia itu memang harus dimodernisasi,” ujarnya.

Seperti diketahui, sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan menjaga kedaulatan negara dengan secepatnya memindahkan operasi nelayan khususnya dari Pantura Jawa ke perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Menurut Luhut, rencana untuk menempatkan nelayan-nelayan Pantura Jawa ke Natuna sebenarnya telah disampaikan sejak lama. Sayangnya, pangkalan nelayan di kawasan itu tidak pernah siap. “Sudah bertahun-tahun kita siapkan (pemindahan nelayan) itu, tapi pangkalan nelayan di Natuna tidak pernah siap. Sekarang kita paksa. Saya sudah bicara dengan Menteri KKP (Edhy Prabowo), itu harus sudah siap tahun ini,” kata Luhut, Kamis (09/01/2020).

Senada dengan Mas Achmad Santosa, Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana setuju jika pemerintah Indonesia perlu menghadirkan nelayan Indonesia di Perairan Natuna. Hal ini penting untuk menjawab kehadiran nelayan Cina di wilayah ZEE Indonesia. “Saya usul, kehadiran nelayan kita di sana. Jangan kita kemudian kalah,” katanya.

Menurutnya dalam dunia internasional, hukum bisa saja diabaikan. Yang dikedepankan seringkali adalah kehadiran fisik. Ia mengatakan kejadian yang sering terjadi, penangkapan ikan ilegal oleh China di ZEE Indonesia terjadi di titik yang sama berulang kali. Kemungkinan besar China sengaja ingin menghadirkan nelayannya secara fisik terus menerus di sana perairan Natuna itu.

Hikmahanto menilai China menghadirkan nelayannya di Laut Natuna dengan cara memberikan subsidi kepada nelayannya demi tujuan menguasai wilayah secara efektif. “Pertanyaannya kehadiran nelayan kita di sana diberikan subsidi atau tidak. Tanpa subsidi nelayan akan berpikir bisnis, dan mereka berpikir untuk apa hadir di sana,” ujarnya.

Lebih lanjut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia mengatakan daripada menghadirkan nelayan di Perairan Natuna, Indonesia perlu juga melakukan back door diplomacy atau diplomasi dibalik pintu. “Paling tidak tokoh itu bisa mengatakan kepada China bahwa Indonesia tidak akan bisa membendung sentimen publik Indonesia terhadap negara China apabila hal ini terus terjadi,” jelasnya.

Menurutnya persoalan beda pandangan tentang perselisihan antara Zona Ekonomi Eksklusif dan sembilan garis putus (nine dash line) di perairan Natuna yang diklaim China tak akan menemukan titik terang. “Isu ini enggak akan selesai sampai akhir zaman. Kalau enggak salah hari ini kapal China sudah masuk lagi. Ini ibaratnya main tarik ulur layangan. Kapan tarik, kapan ulur,” katanya.

Hikmahanto menegaskan, persoalan antara Indonesia dan China di Natuna merupakan isu tentang hak berdaulat. Ketegasan Indonesia yang menyatakan tak mengakui sembilan garis putus itu dikatakan Hikmahanto mungkin sudah disampaikan kepada Menteri Luar Negeri China. “Dan enggak pernah dijawab,” ucapnya. Kalau dijawab selalu mengatakan bahwa China tak pernah punya masalah dengan Indonesia berkaitan dengan kedaulatan. “Ya memang soal kedualatan emang enggak pernah jadi persoalan,” ujarnya.

Menurut Hikmahanto, persoalan di Natuna berkaitan dengan hak berdaulat di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Hak berdaulat itu diartikan bahwa Indonesia hanya memiliki hak atas sumber daya alam. Bukan hak wilayah. “Tidak terkait wilayah. Jadi sumber daya alam yang di dalam air, ikan dan sebagainya dan yang ada di dasar laut sebagai landasan kontinen,” pungkasnya. D. Ramdani