Membangkitkan Nostalgia Masa Kecil di Museum Layang-layang

138
Museum Layang-layang Indonesia dan koleksinya. (SirOnline/Rayi Gigih)

Jakarta, SirOnline.id – Memasuki gerbang Museum Layang-layang di Jakarta Selatan, bangunan khas Jawa tempo dulu dengan dua buah tiang bata tersusun rapi sebagai pintu masuknya, seakan menyambut ramah para tamu yang datang.

Melewati pintu tersebut, pengunjung langsung diarahkan ke sebuah ruang audio visual yang berada di sebelah kiri halaman museum. Di ruangan dengan kapasitas 37 orang ini pengunjung dapat menonton langsung tentang sejarah layang-layang, peran layang-layang di ritus adat hingga berbagai bentuk layang-layang yang pernah mengikuti berbagai kompetisi baik di tanah air maupun di luar negeri.

Selesai menonton, pemandu museum Asep Irawan sudah siap untuk berbagi informasi kepada pengunjung. Pria asal Bandung ini sudah malang-melintang di dunia perlayangan, bahkan layang-layang buatannya juga dipajang di museum ini.

Asep lalu mengajak pengunjung menuju pendopo utama, di sinilah ratusan layang-layang dipajang. Pendopo ini terbagi menjadi tiga ruangan yaitu ruang utama, ruang pajang layang-layang dari berbagai negara dan wilayah Indonesia, dan ruang layang-layang yang terbuat dari daun.

(SirOnline/Rayi Gigih)

“Mohon maaf ya, tolong alas kakinya dibuka, soalnya pendopo ini sering dijadikan berbagai kegiatan temu komunitas, kelas yoga dan wadah kolaborasi,” ujar Asep.

Di pendopo, pengunjung dapat menyaksikan pemandangan menakjubkan. Beragam layang-layang tiga dimensi digantung rapi di kiri dan kanan. Ada layangan Gajah dari Lampung, kepala naga dari Yogyakarta, burung purba dari Cilacap, kuda pegasus dari Magelang dan layangan delman dari Jepara.

Layangan hasil kolaborasi Indonesia dan India juga dipamerkan di museum ini. Kebanyakan berbentuk wayang. “India dan Indonesia kan punya kultur dan cerita yang sama soal wayang. Jadi ya didominasi bentuk itu. Saya juga terlibat dalam pembuatannya,” kata Asep.

Di ruang kedua, pengunjung dapat melihat jenis-jenis layangan dari berbagai wilayah di Indonesia. Ada layang-layang dari Kalimantan Selatan bernama Dandang Laki dan Dandang Bini. Menurut Asep dua layangan tradisional ini sejodoh dan diambil dari nama alat memasak di Kalimantan Selatan. Keduanya biasa diterbangkan saat musim panen di tengah sawah. Tujuannya agar musim panen berikutnya membawa kemakmuran bagi penduduk di sana. Kedua layang-layang ini mengeluarkan bunyi jika diterbangkan.

“Layang-layang Dandang Laki dan Dandang Bini bisa berbunyi saat diterbangkan karena memiliki dua bilah bambu yang dikaitkan pada rangka kepala sisi kiri dan kanan. Bambu tersebut berbentuk seperti kentongan dengan lubang membujur di tengahnya. Bila layang-layang ini diterbangkan dengan hembusan angin kencang akan mengeluarkan bunyi yang bisa terdengar hingga sejauh satu kilometer,” jelas Asep.

Kemudian ada juga layang-layang dari daerah Kudus bernama Dara Keplok. Layangan ini berbentuk burung merpati. Kalau diterbangkan mengeluarkan suara ‘keplok’, terdengar seperti orang bertepuk tangan, karena di kiri dan kanan sayapnya dipasang bambu. Setiap gerakan layang-layang ini pasti akan memunculkan bunyi.

Museum Layang-layang tidak hanya menyimpan koleksi dari dalam negeri, tetapi ada juga yang terinspirasi dari luar negeri seperti Tiongkok. Layangan ini berukuran sangat kecil, hanya dua centimeter. Untuk memainkannya menggunakan benang jahit dan harus dibantu dengan hembusan angin yang kencang.

Di ruangan ketiga, pengunjung dapat melihat layang-layang tradisional yang dibuat dari berbagai jenis daun. Ada yang terbuat dari daun pambu, daun nira, kulit batang pisang hingga daun pohon jati. Layangan jenis ini dikerjakan sangat tradisional. Daun-daun tersebut disatukan dengan cara dianyam menggunakan batang daun kelapa, agar kuat dibuat rangka kayu di belakang badan layang-layang.

(SirOnline/Rayi Gigih)

Setelah mendatangi setiap ruang yang ada di museum, di akhir kunjungan pengunjung akan diajak membuat layang-layang. Mulai dari merakit, menghias dan mewarnai tergantung tingkat usia dengan bahan dan alat – alat yang telah disediakan oleh pengelola museum.

Keberadaan Museum Layang Layang Indonesia tidak bisa lepas dari sosok Endang Ernawati. Ia mendirikan museum tersebut karena cintanya yang begitu besar pada layang-layang. Endang menghibahkan tanahnya sendiri untuk dijadikan museum yang diresmikan pada tanggal 21 Maret 2003 oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika.

“Ibu Endang rajin mengumpulkan layang-layang dari berbagai penjuru wilayah yang dia kunjungi. Ia juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk menyelenggarakan festival layang-layang. Layang-layang hasil festival juga kadang dihibahkan ke museum ini. Ada kurang lebih 600 koleksi di museum ini,” kata Asep.

Baca: Menggaungkan Suara Perempuan Melalui Tulisan

Menelusuri Museum Layang-layang dari awal hingga akhir, seolah memutar kembali waktu ke masa kecil. Keriangan bermain layang-layang bersama teman sebaya di lapangan terbuka, berkejaran dengan angin, seakan terasa kembali saat berada di museum.

Museum Layang-layang buka setiap hari dari pukul 9.00 pagi hingga 17.00 sore. Hari libur dan tanggal merah tutup. Harga tiket untuk dewasa sebesar Rp. 25.000,- dan anak-anak serta pelajar Rp.20.000,- sudah termasuk biaya menghias layangan. (Ricardo Ronald)