Belanja APBN untuk Pendidikan Capai Rp 550 triliun

71

sironline.id, Jakarta – Selama lebih dari satu dekade terakhir, ekonomi global kerap menghadapi berbagai tantangan, dan pandemi Covid-19 di 2020 menjadi yang terberat. Pandemi menjadi tantangan dalam beberapa tahun ke depan. Di sisi lain, pandemi mendorong reformasi global guna memperkuat  resiliensi sumber daya manusia, kesehatan, sosial safety net, infrastruktur teknologi dan digital.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan seluruh perekonomian di dunia kecuali sedikit negara seperti Tiongkok dan Vietnam mengalami kontraksi tahun 2020. Indonesia juga mengalami tekanan berat namun kontraksi ekonomi Indonesia masih bisa dikendalikan pada kisaran 2,2%. IMF bahkan memproyeksikan kontraksi  Indonesia adalah 1,5%.

“Tentu ini sesuatu yang sangat baik karena kita berupaya untuk terus menangani pandemi ini dan memnimalkan  dampak buruk terhadap perekonomian dan sosial. Dalam rangka untuk menolong masyarakat dan menjaga dampak buruk terhadap perekonomian, instrumen APBN menjadi  instrumen  keijakan yang menjadi kunci,” jelasnya di acara Media Group News Summit 2021, Rabu (27/1/2021).

Ia menilai memang terjadi pelebaran defisit namun seluruh dunia menggunakan instrumen  APBN sebagai instrumen kebijakan yang luar biasa penting. Semua  negara di dunia meningkatkan defisit APBN-nya. Pandemi Covid-19  menghantam sisi penerimaan negara dengan kondisi perekonomian negara yang mengalami kontraksi, sehingga penerimaan negara baik pajak maupun bukan pajak mengalami tekanan sangat dalam. Di sisi lain belanja untuk membantu masyarakat dan perekonomian meningkat sangat signifikan termasuk untuk penanganan pandemi ini.

“Tahun 2020 banyak negara mengalami defisit luar biasa di dalam APBN-nya. Bahkan Amerika Serikat diperkirakan defisitnya mendekati  15 persen, Jerman di atas 8%, Perancis di atas 10%. India mengalami kontraksi sangat dalam dan defisitnya juga sangat dalam bahkan di atas 13%. Bahkan RRT yang bisa menjaga perekonomian di zona positif 2% defisitnya juga mendekati 12%. Indonesia juga mengalami tekanan di dalam APBN sebagai instrumen yang luar biasa penting untuk menjaga masyarakat dan ekonomi serta menangani Covid-19. Tahun 2020 defisit APBN kita meningkat menjadi sekitar 6,1%. Semula kita berharap perekonomian yang baik di tahun 2020 sehingga defisit APBN dirancang hanya 1,7% dari gross domestic product (GDP), namun dengan adanya pandemi Covid -19 kita harus meningkatkan berbagai langkah dalam melindungi masyarakat dan perekonomian,” paparnya.

Dengan naiknya defisit APBN sebagai instrumen yang sangat penting dalam mengelola ekonomi dan menangani  pandemi, semua negara di dunia mengalami kenaikan dalam utang. Bahkan Amerika Serikat dan Jepang mengalami kenaikan rasio utang hingga di atas 100% dari GDP. Perancis juga mengalami hal yang sama, termasuk negara Eropa yang dianggap cukup konservatif seperti Jerman dengan rasio utang hingga mencapai 73% dari GDP. Negara- negara tetanggga kita di ASEAN juga mengalami hal yang sama. Kenaikan utang Malaysia mencapai 67%, Philipina 48%, Singapura mencapai lebih dari 130%.

“Dengan tambahan defisit Indonesia juga mengalami kenaikan rasio utang mencapai 38,5% dari GDP. Angka ini bila dibandingkan dengan negara-negara G-20 ataupun negara negara ASEAN jauh lebih baik,  namun hal ini bukan berarti bahwa kita tidak waspada. Tekanan akibat pandemi memang sangat berat dan kita harus meningkatkan kemampuan dalam menjaga instrumen kebijakan agar betul-betul efektif,” tambahnya.

Dengan berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah, ekonomi Indonesia mulai mengalami pemulihan. Pemerintah meningkatkan stimulus fiskal di bidang sosial maupun ekonomi dan dampaknya pada kuartal III dan IV 2020 sudah mulai terlihat adanya pemulihan ekonomi seperti Purchasing Managers Index (PMI ) Indonesia yang sekarang sudah mencapai di atas 50 yang artinya sudah mulai ada ekspansi kegiatan. Konsumsi semen juga mulai menunjukkan pemulihan, konsumsi listrik yang menggambarkan kegiatan masyarakat dan bisnis juga mulai menunjukkan pemulihan, dan ini didukung mobilitas masyarakat yang mulai agak normal. Namun kita tetap harus berhati-hati  karena mobilitas masyarakat yang meningkat  harus dijaga sehingga pandemi Covid tidak semakin meluas.

Ia mengatakan, di tahun 2020 fokus utama kita pada penanganan pandemi Covid-19 dan tahun 2021 kita juga tetap menghadapi pandemi Covid-19 namun dengan optimisme lebih tinggi karena seluruh langkah yang telah dilakukan di tahun 2020 telah memberikan pondasi cukup baik bagi kita untuk menangani pandemi dan memulihkan ekonomi nasional.

“APBN 2021 akan dicoba secara bertahap untuk menjadi kembali sehat. Tahun 2021 kita berharap pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5%,  dengan inflasi yang tetap terjaga sekitar 3% dan nilai tukar stabil di Rp 14.600 per US$. Belanja negara tahun 2021 ditargetkan mencapai Rp 2.750 triliun dan diharapkan akan mampu mendukung pemulihan ekonomi  dan melindung masyarakat serta meningkatkan kemampuan kita dalam menghadapi pandemi, termasuk belanja untuk vaksinasi,” jelasnya.

Ia menilai tahun 2021 merupakan tahun yang penting, tidak hanya fokus pada pandemi Covid-19 namun juga dalam melaksanakan berbagai program reformasi struktural  dan fundamental. Ini karena Indonesia harus bisa terhindar dari middle income trap melalui perbaikan birokrasi, regulasi, peningkatan produktivitas dan inovasi. Maka dari itu belanja APBN di bidang sumber daya manusia  menjadi  belanja  yang paling penting dan pendidikan  mendapatkan alokasi Rp 550 triliun pada tahun 2021. Untuk sektor kesehatan sebesar Rp 169,7 triliun dan ini  masih akan didukung dengan program vaksinasi, serta untuk perlindungan sosial lebih dari Rp 408,8 triliun. “Ini karena Pemerintah menganggap bahwa SDM merupakan aset paling penting sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya,” ujarnya.

Selain itu belanja untuk program infrastruktur sebesar Rp 417,4 triliun, ketahanan pangan Rp 99 triliun, pariwisata Rp 14,2 triliun, bidang teknologi informasi dan komunikasi Rp 26 triliun.

Pemerintah menargetkan penerimaan negara tahun ini mencapai Rp 1.743,6 triliun, berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.444,5 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 298,2 triliun. Meski turun 1,8% dari target awal, akan tetapi tetap lebih tinggi dari realisasi pendapatan negara 2020 sebesar Rp 1.633,6 triliun.