Vaksin Tetap Satu Kesatuan dengan Protokol Kesehatan 3M  

52
Protokol kesehatan 3M: memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak aman. Foto: Rayi Gigih-IO

 

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyetujui penggunaan darurat vaksin Covid-19 CoronaVac buatan Sinovac Biotech, Cina, bekerja sama dengan PT Bio Farma, Senin (11/1/2021), merujuk hasil uji klinis sebesar 65,3%. Kepala BPOM, Penny K. Lukito, dalam jumpa pers secara daring, mengatakan bahwa dari hasil analisis terhadap efikasi atau kemanjuran vaksin CoronaVac dari uji klinis di Bandung menunjukkan harapan vaksin ini mampu menurunkan angka kejadian Covid-19 hingga 65,3%, sedangkan imunogenitas atau kemampuan antibodi membunuh dan menetralkan virus 99,23% tiga bulan setelah penyuntikan.

Vaksin Covid-19 buatan Sinovac dinyatakan memenuhi persyaratan dari panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pemberian persetujuan penggunaan darurat (emergency use of authorization/EUA). Standar efikasi vaksin yang ditetapkan WHO minimal 50%. Selain efikasi vaksin dari uji klinik fase ketiga di Bandung, EUA yang dikeluarkan BPOM merujuk pada data uji klinis di Turki yang mencapai 91,25%, sedangkan Brasil 78%.

Mengapa hasil uji klinis di Indonesia lebih rendah?

“Hasil uji klinis di Turki lebih tinggi karena sukarelawan uji klinisnya 80% adalah tenaga kesehatan, 20 persen orang dengan risiko tinggi, sehingga hasilnya bisa 91,25%. Di Indonesia, karakteristik sukarelawan lebih beragam, kebanyakan adalah populasi umum. Angka ini membawa informasi yang lebih baik bagi Indonesia karena perlindungan untuk populasi umum ternyata lebih tinggi,” kata dr. Jarir A. Thobari, MEpid, Tim Komnas Epidemiologis.

Dalam menetapkan EUA, ada lima kriteria yang dipatok WHO. Pertama, penetapan kedaruratan kesehatan oleh pemerintah. Kedua, terdapat cukup bukti ilmiah terkait aspek keamanan dan khasiat vaksin. Ketiga, mutu memenuhi standar yang berlaku dan mengikuti tata cara pembuatan obat yang baik. Keempat, memiliki manfaat yang lebih besar dari risiko berdasarkan kajian ilmiah. Kelima, belum ada alternatif pengobatan atau penatalaksanaan yang memadai dalam mengatasi kedaruratan kesehatan masyarakat

Dalam kesempatan yang sama, Prof. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), memastikan semua prosedur yang dilakukan BPOM dalam mengeluarkan izin EUA untuk vaksin CoronaVac sesuai standar. Aspek independensi juga selalu diperlihatkan dalam proses pengkajian.

”Dengan mengikuti kajian ilmiah berdasarkan uji klinis di Bandung, kami yakin vaksin CoronaVac aman dalam upaya meredakan pandemi Covid-19. Seperti vaksinasi lain, bisa ada kejadian ikutan pasca-imuniasi (KIPI) berupa efek samping lokal seperti kemerahan atau iritasi, dan efek samping sistemik, seperti demam. Saat diimunisasi, pastikan jarum suntik masuk ke otot agar tidak menimbulkan bengkak,” ujarnya.

Prof. Sri, panggilannya, menyebut target cakupan penerima vaksin untuk mencapai herd immunity tidak terkait langsung dengan efikasi vaksin. Ketetapan penerima vaksin sekitar 70% atau sekitar 180 juta penduduk Indonesia dinilai sudah sesuai. “Jika tingkat penularan Covid-19 sekitar tiga orang dari satu kasus, target vaksin sekitar dua pertiga dari jumlah total penduduk atau sekitar 180 juta orang. Kalau efikasi di bawah 50%, hitungannya akan berbeda,” ucapnya.

Sementara itu, dalam webinar bertema “Siapa yang Boleh dan Tidak Boleh Divaksin” yang digelar Senin (11/1/2021), dr. Erlina Burhan, Sp.P, menyebut bahwa vaksinasi merupakan satu kesatuan dari upaya penerapan protokal kesehatan 3M dan pelaksanaan 3T oleh pemerintah. Syarat mendapat vaksin adalah orang yang sehat, usia 18-59 tahun, dan belum atau tidak pernah sakit Covid-19.

“Pada dasarnya vaksin adalah untuk mencegah kita terpapar penyakit. Kalaupun terpapar, sakit jadi tidak berat. Khusus vaksin Covi-19, sudah disuntik dua kali, hari nol dan hari ke-14 pun, kita tetap harus memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak aman,” kata anggota pakar medis Satgas Covid-19 itu. (est)